Jumat, 19 Desember 2014

Liberalisme




LIBERALISME( PRO )



 (Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah SejarahIntelektual)




Oleh:

RIDHO R PUTRA
(120210302099)
Kelas B





PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014






1.      Pengertian Liberalisme.
Liberalisme adalah suatu paham yang menghendaki adanya kebebasan
individu dalam segala bidang.Menurut paham ini titik pusat dalam hidup
ini adalah individu.Karena ada individu maka masyarakat dapat tersusun
dan karena individu pula negara dapat terbentuk.Oleh karena itu, masyarakat
atau negara harus selalu menghormati dan melindungi kebebasankemerdekaan
individu. Setiap individu harus memiliki kebebasankemerdekaan,
seperti dalam bidang politik, ekonomi, dan agama.Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama.Dalam masyarakat modern, liberalisme akan dapat tumbuh dalam sistem demokrasi, hal ini dikarenakan keduanya sama-sama didasarkan pada kebebasan mayoritas.
Dalam mempelajari studi hubungan internasional, kita akan menemui banyak sekali teori karena seperti yang kita ketahui bahwa teori berfugsi menjawab fenomena-fenomena yang terjadi dalam hubungan internasional. Selain realisme, ada juga teori yang sangat terkenal dalam studi hubungan internasional yakni teori liberalisme. Jika realisme memandang manusia secara pesimis, liberalisme bersikap sebaliknya. Liberalisme memandang manusia secara optimis dan positif. Liberalis percaya bahwa manusia selalu bersikap baik dan rasional serta manusia bisa menahan diri dan cenderung berperilaku dengan cara moderasi untuk berkompromi dan menghindari adanya bentrok (Dugis, 2013). Menurut kaum liberalis, manusia selalu mementingkan dirinya sendiri, dan dengan banyaknya kepentingan individu, otomatis individu memerlukan kerja sama satu sama lain yang sifatnya menguntungkan. Pandangan dasar kaum liberal yang terakhir adalah percaya dengan adanya kemajuan. Kemajuan berarti kehidupan yang lebih baik untuk setidaknya mayoritas individu (Jackson & Sorensen, 1999: 109-111). Bagi kaum liberal, kemajuan individu datang dari adanya proses modernisasi. Dengan adanya modernisasi, kehidupan individu otomatis akan semakin mudah.
Ada tiga hal yang mendasar dari Ideologi Liberalisme yakni Kehidupan, Kebebasan dan Hak Milik (Life, Liberty and Property). Dibawah ini, adalah nilai-nilai pokok yang bersumber dari tiga nilai dasar Liberalisme tadi:
Ø  Kesempatan yang sama. (Hold the Basic Equality of All Human Being). Bahwa manusia mempunyai kesempatan yang sama, di dalam segala bidang kehidupan baik politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan. Namun karena kualitas manusia yang berbeda-beda, sehingga dalam menggunakan persamaan kesempatan itu akan berlainan tergantung kepada kemampuannya masing-masing. Terlepas dari itu semua, hal ini (persamaan kesempatan) adalah suatu nilai yang mutlak dari demokrasi.
Ø  Dengan adanya pengakuan terhadap persamaan manusia, dimana setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mengemukakan pendapatnya, maka dalam setiap penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi baik dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan kenegaraan dilakukan secara diskusi dan dilaksanakan dengan persetujuan – dimana hal ini sangat penting untuk menghilangkan egoisme individu.( Treat the Others Reason Equally.)
Ø  Pemerintah harus mendapat persetujuan dari yang diperintah. Pemerintah tidak boleh bertindak menurut kehendaknya sendiri, tetapi harus bertindak menurut kehendak rakyat.(Government by the Consent of The People or The Governed).
Ø  Berjalannya hukum (The Rule of Law). Fungsi Negara adalah untuk membela dan mengabdi pada rakyat. Terhadap hal asasi manusia yang merupakan hukum abadi dimana seluruh peraturan atau hukum dibuat oleh pemerintah adalah untuk melindungi dan mempertahankannya. Maka untuk menciptakan rule of law, harus ada patokan terhadap hukum tertinggi (Undang-undang), persamaan dimuka umum, dan persamaan sosial.
Ø  Yang menjadi pemusatan kepentingan adalah individu.(The Emphasis of Individual).
Ø  Negara hanyalah alat (The State is Instrument). Negara itu sebagai suatu mekanisme yang digunakan untuktujuan-tujuan yang lebih besar dibandingkan negara itu sendiri. Di dalam ajaran Liberal Klasik, ditekankan bahwa masyarakat pada dasarnya dianggap, dapat memenuhi dirinya sendiri, dan negara hanyalah merupakan suatu langkah saja ketika usaha yang secara sukarela masyarakat telah mengalami kegagalan.
Ø  Dalam liberalisme tidak dapat menerima ajaran dogmatisme (Refuse Dogatism).Hal ini disebabkan karena pandangan filsafat dari John Locke (1632 – 1704) yang menyatakan bahwa semua pengetahuan itu didasarkan pada pengalaman. Dalam pandangan ini, kebenaran itu adalah berubah.

2.      Perkembangan Liberalisme Di Eropa.
Liberalisme atau Liberal adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan dan persamaan hak adalah nilai politik yang utama. Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama (Sukarna, 1981). Dalam masyarakat modern, liberalisme akan dapat tumbuh dalam sistem demokrasi, hal ini dikarenakan keduanya sama-sama didasarkan pada kebebasan mayoritas.
Pemikiran liberal (liberalisme) adalah satu nama di antara nama-nama untuk menyebut ideologi Dunia Barat yang berkembang sejak masa Reformasi Gereja dan Renaissans yang menandai berakhirnya Abad Pertengahan (abad V-XV). Disebut liberal, yang secara harfiah berarti “bebas dari batasan” (free from restraint), karena liberalisme menawarkan konsep kehidupan yang bebas dari pengawasan gereja dan raja. (Adams, 2004:20). Ini berkebalikan total dengan kehidupan Barat Abad Pertengahan ketika gereja dan raja mendominasi seluruh segi kehidupan manusia.
Menurut Sukarna (1981) ada tiga hal yang mendasar dari Ideologi Liberalisme yakni Kehidupan, Kebebasan dan Hak Milik (Life, Liberty and Property). Dibawah ini, adalah nilai-nilai pokok yang bersumber dari tiga nilai dasar Liberalisme tadi:
Kesempatan yang sama (Hold the Basic Equality of All Human Being).Bahwa manusia mempunyai kesempatan yang sama, di dalam segala bidang kehidupan baik politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan. Namun karena kualitas manusia yang berbeda-beda, sehingga dalam menggunakan persamaan kesempatan itu akan berlainan tergantung kepada kemampuannya masing-masing. Terlepas dari itu semua, hal ini (persamaan kesempatan) adalah suatu nilai yang mutlak dari demokrasi.
Treat the Others Reason Equally (Perlakuan yang sama). Dengan adanya pengakuan terhadap persamaan manusia, dimana setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mengemukakan pendapatnya, maka dalam setiap penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi baik dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan kenegaraan dilakukan secara diskusi dan dilaksanakan dengan persetujuan – dimana hal ini sangat penting untuk menghilangkan egoisme individu.
            Government by the Consent of The People or The Governed (pemerintahan dengan persetujuan dari yang diperintah)Pemerintah harus mendapat persetujuan dari yang diperintah. Pemerintah tidak boleh bertindak menurut kehendaknya sendiri, tetapi harus bertindak menurut kehendak rakyat.
            Berjalannya hukum (The Rule of Law). Fungsi Negara adalah untuk membela dan mengabdi pada rakyat. Terhadap hal asasi manusia yang merupakan hukum abadi dimana seluruh peraturan atau hukum dibuat oleh pemerintah adalah untuk melindungi dan mempertahankannya. Maka untuk menciptakan rule of law, harus ada patokan terhadap hukum tertinggi (Undang-undang), persamaan dimuka umum, dan persamaan sosial.Yang menjadi pemusatan kepentingan adalah individu (The Emphasis of Individual).
Negara hanyalah alat (The State is Instrument). Negara itu sebagai suatu mekanisme yang digunakan untuk tujuan-tujuan yang lebih besar dibandingkan negara itu sendiri. Di dalam ajaran Liberal Klasik, ditekankan bahwa masyarakat pada dasarnya dianggap, dapat memenuhi dirinya sendiri, dan negara hanyalah merupakan suatu langkah saja ketika usaha yang secara sukarela masyarakat telah mengalami kegagalan.Dalam liberalisme tidak dapat menerima ajaran dogmatisme (Refuse Dogatism).Hal ini disebabkan karena pandangan filsafat dari John Locke (1632 – 1704) yang menyatakan bahwa semua pengetahuan itu didasarkan pada pengalaman. Dalam pandangan ini, kebenaran itu adalah berubah.
Sedangkan menurut Ramlan Subakti (2010: 45) ciri-ciri ideologi liberal sebagai berikut. Pertama, demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang lebih baik. Kedua, anggota masyarakat memiliki kebebasan intelektual penuh, termasuk kebebasan berbicara, kebebasan beragamadan kebebasan pers. Ketiga, pemerintah hanya mengatur kehidupan masyarakat secara terbatas. Keputusan yang dibuat hanya sedikit untuk rakyat, sehingga rakyat dapat belajar membuat keputusan untuk dirinya sendiri. Keempat, kekuasaan dari seseorang terhadap orang lain merupakan hal yang buruk. Oleh karena itu pemerintah dijalankan sedemikian rupa sehingga penyalahgunaan kekuasaan dapat dicegah. Pendek kata, kekuasaan dicurigai sebagai cendarung disalahgunakan, dan karena itu sejauh mungkin dibatasi. Kelima, suatu masyarakat dikatakan berbahagia kalau masyarakat secara keseluruhan berbahagia, kebahagiaan sebagian besar individu belum tentu maksimal.  
Ada dua macam Liberalisme, yakni Liberalisme Klasik dan Liberallisme Modern. Liberalisme Klasik timbul pada awal abad ke 16. Sedangkan Liberalisme Modern mulai muncul sejak abad ke-20. Namun, bukan berarti setelah ada Liberalisme Modern, Liberalisme Klasik akan hilang begitu saja atau tergantikan oleh Liberalisme Modern, karena hingga kini, nilai-nilai dari Liberalisme Klasik itu masih ada. Liberalisme Modern tidak mengubah hal-hal yang mendasar, hanya mengubah hal-hal lainnya atau dengan kata lain, nilai intinya (core values) tidak berubah hanya ada tambahan-tanbahan saja dalam versi yang baru. Jadi sesungguhnya, masa Liberalisme Klasik itu tidak pernah berakhir (Sukarna, 1981).
Dalam Liberalisme Klasik, keberadaan individu dan kebebasannya sangatlah diagungkan. Setiap individu memiliki kebebasan berpikir masing-masing yang akan menghasilkan paham baru. Ada dua paham, yakni demokrasi (politik) dan kapitalisme (ekonomi). Meskipun begitu, bukan berarti kebebasan yang dimiliki individu itu adalah kebebasan yang mutlak, karena kebebasan itu adalah kebebasan yang harus dipertanggungjawabkan (Sukarna, 1981). Jadi, tetap ada keteraturan di dalam ideologi ini, atau dengan kata lain, bukan bebas yang sebebas-bebasnya.
Pemikiran liberal mempunyai akar sejarah sangat panjang dalam sejarah peradaban Barat yang Kristen. Munculnya ideologi ini disebabkan karena ketatnya peraturan sehingga membuat kekuasaan bersifat otoriter, tanpa memberikan kebebasan berpikir kepada rakyatnya. Salah satu yang menganut ideologi liberalisme adalah Amerika. Kebebasan telah muncul sejak adanya manusia di dunia, karena pada hakikatnya manusia selalu mencari kebebasan bagi dirinya sendiri. Bentuk kebebasan dalam politik pada zaman dahulu adalah penerapan demokrasi di Athena dan Roma. Tetapi, kemunculan liberalisme sebagai sebuah paham  pada abad akhir abad 17, berhubungan dengan runtuhnya feodalisme di Eropa dan dimulainya zaman Renaissance, lalu diikuti dengan gerakan politik masa Revolusi Prancis.
Pada tiga abad pertama Masehi, agama Kristen mengalami penindasan di bawah Imperium Romawi sejak berkuasanya Kaisar Nero (tahun 65). Kaisar Nero bahkan memproklamirkan agama Kristen sebagai suatu kejahatan (Idris, 1991:74). Menurut Abdulah Nashih Ulwan (1996:71), pada era awal ini pengamalan agama Kristen sejalan dengan Injil Matius yang menyatakan,”Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar dan berikanlah kepada Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan.” (Matius, 22:21).
Namun kondisi tersebut berubah pada tahun 313, ketika Kaisar Konstantin mengeluarkan dekrit Edict of Milan untuk melindungi agama Nasrani. Selanjutnya pada tahun 392 keluar Edict of Theodosius yang menjadikan agama Nasrani sebagai agama negara (state-religion) bagi Imperium Romawi. (Husaini, 2005:31). Pada tahun 476 Kerajaan Romawi Barat runtuh dan dimulailah Abad Pertengahan (Medieval Ages) atau Abad Kegelapan (Dark Ages). Sejak itu Gereja Kristen mulai menjadi institusi dominan. Dengan disusunnya sistem kepausan (papacy power) oleh Gregory I (540-609 M), Paus pun dijadikan sumber kekuasaan agama dan kekuasaan dunia dengan otoritas mutlak tanpa batas dalam seluruh sendi kehidupan, khususnya aspek politik, sosial, dan pemikiran. (Idris, 1991:75-80; Ulwan, 1996:73).
Abad Pertengahan itu ternyata penuh dengan penyimpangan dan penindasan oleh kolaborasi Gereja dan raja/kaisar, seperti kemandegan ilmu pengetahuan dan merajalelanya surat pengampunan dosa. Maka Abad Pertengahan pun meredup dengan adanya upaya koreksi atas Gereja yang disebut gerakan Reformasi Gereja (1294-1517), dengan tokohnya semisal Marthin Luther (1546), Zwingly (1531), dan John Calvin (1564). Gerakan ini disertai dengan munculnya para pemikir Renaissans pada abad XVI seperti Machiaveli (1528) dan Michael Montaigne (1592), yang menentang dominasi Gereja, menghendaki disingkirkannya agama dari kehidupan, dan menuntut kebebasan.
Selanjutnya pada era Pencerahan (Enlightenment) abad XVII-XVIII, seruan untuk memisahkan agama dari kehidupan semakin mengkristal dengan tokohnya Montesquieu (1755), Voltaire (1778), dan Rousseau (1778). Puncak penentangan terhadap Gereja ini adalah Revolusi Perancis tahun 1789 yang secara total akhirnya memisahkan Gereja dari masyarakat, negara, dan politik.
Dimana hal tersebut berawal dari kaum Borjuis, Prancis pada abad ke-18 sebagai reaksi protes terhadap kepincangan yang telah berakar lama di Prancis. Sebagai akibat warisan sejarah masa lampau, di Prancis terdapat pemisahan dan perbedaan yang tajam sekali antara golongan I dan II yang memiliki berbagai hak tanpa kewajiban dan golongan III yang tanpa hak dan penuh dengan kewajiban. Golongan Borjuis mengajak seluruh rakyat untuk menentang kekuasaan raja yang bertindak sewenang-wenang dan kaum bangsawan dengan berbagai hak istimewanya guna mendapatkan kebebasan berpolitik, berusaha, dan beragama. Gerakan ini diilhami oleh pendapat Voltaire, Montesquieu, dan J.J. Rousseau. Gerakan liberalisme akhirnya meningkat menjadi gerakan politik dengan meletusnya Revolusi Prancis.
Paham liberalisme yang berkembang di Eropa pada abad ke-19 mencakup bidang ekonomi dan politik. Dalam bidang ekonomi menghendaki agar pemerintah tidak campur tangan di bidang usaha dan perdagangan. Paham ini menentang proteksi maupun monopoli. Dalam bidang politik, liberalisme memperjuangkan hapusnya hak istimewa suatu golongan. Paham ini berjuang agar kekuasaan raja dibatasi oleh undang-undang. Juga menhendaki kebebasan beragama, kebebasan mengeluarkan pendapat dan kebebasan pers Paham liberalisme di bidang ekonomi bersamaan munculnya dengan revolusi industri di Inggris pada anad ke-18. Dari Inggris paham liberalisme tersebar meluas ke negara-negara di daratan Eropa sejak abad ke-19, karena pada abad tersebut negara-negara Eropa Barat mulai membangun industrinya, seperti Belgia, Perancis, Belanda, Jerman, dan Italia. Politik perdagangan bebas dan liberalisme ekonomi diterima dan dipertahankan oleh pemerintah Inggris sampai tahun 1932. Pada abad ke-20, masa kejayaan liberalisme di Eropa menurun sejalan mundurnya kedudukan kaum liberal. Seperti yang terjadi di Inggris kedudukan partai liberal digantikan oleh partai buruh. Demikian halnya di negara-negara Eropa lainnya, pengaruh partai liberal menurun. Penyebab lain adalah karena paham liberal mengalami perkembangan sesuai perubahan zaman. Umumnya negara-negara industri merasa perlu kembali melindungi industri dalam negeri sehingga menimbulkan perdagangan bebas. Juga karena makin banyak terjadi persaingan di antara negara-negara industri maju. Liberalisme ekonomi tidak dapat dipertahankan. Dengan demikian liberalisme ekonomi tidak dapat bertahan dalam abad ke-20, sedang liberalisme dalam bidang politik nampak mengalami perkembangan dengan melahirkan paham demokrasi dan nasionalisme.
Sebagai suatu paham yang mengutamakan kebebasan, kaum liberal menentang segala tindakan yang menekan kebebasan individunya. Salah satu usaha untuk merealisasikan paham kebebasan itu diantaranya adalah melakukan revolusi, baik revolusi politik dengan kekerasan, maupun revolusi tidak dengan kekerasan.
Pengakuan pertama terhadap kebebasan individu yang di jamin dengan undang-undang terjadi di Inggris yaitu denga keluarnya Magna Charta pada tahun 1215, yang berisi ketentuan bahwa setiap orang tidak boleh di tangkap, di penjara, disiksa, di asingkan, atau disita hak miliknya kecuali jika alasan-alasan utuk itu cukup kuat untuk undang-undang.
Adanya perlindungan undang-undang terhadap kebebasan individu merupakan kemenangan tahap pertama yang di capai oleh kaum liberal dalam memperjuangkan cita-citanya. Setelah mendapat pengakuan dalam ‘the great charter liberties’ (1297), ‘habeas corpus act’ (1679), dan ‘bill of right’ (1689) paham liberalisme berkembang hamper keseluruh daratan Eropa, dan pada abad ke-19 paham liberalisme berkembang keseluruh dunia sebagai salah satu way of life, dan meliputi bidang politik, ekonomi, sosial-budaya, dan agama.
Di negeri Belanda kaum liberal memperoleh kemenangan dan mempunyai suara yang kuat untuk mempengaruhi jalan nya pemerintahan sejak tahun 1850. Kaum liberal ini menghendaki di laksanakannya cita-cita liberalisme di setiap daerah jajahan. Termasuk Indonesia karena mereka sebelumnya tidak pernah ikut ambil bagian dan memperoleh keuntungan dari daerah jajahan. Hal ini dapat di maklumi karena kaum liberal di negri Belanda adalah kaum modal swasta yang sebelumnya tidak mempunyai kesempatan untuk menikmati keuntungan sebab kekuasaan di negeri Belanda sebelumnya di pegang oleh kaum bangsawan.
Berdasarkan pandangan liberalisme, pemerintah tidak di benarkan mengadakan campurtangan dalam urusan ekonomi, karena masalah ekonomi harus di serahkan kepada pihak non–pemerintah(swasta). Supaya kaum swasta dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Mereka harus diberi keleluasaan dalam berusaha, dan dengan demikian pemerintah harus memberi keleluasaan sepenuhnya kepada kaum pengusaha swasta dan modal swasta Belanda mengembangkan kegiatannya dalam berbagai bidang kehidupan ekonomi.
Sejarah menjelaskan terdapat dua masa liberalisme, yakni liberalisme klasik  sekitar abad 17-18 dan liberalisme modern sekitar abad 20. Pada masa liberalisme klasik, asal-usul serta nilai-nilai dasar yang terkandung dalam pandangan liberalisme tadi di pelopori oleh tiga orang tokoh dunia yang terkenal, yakni John Locke (1632-1704), Jeremy Bentham (1748-1832), dan Immanuel Kant (1724-1804) (Jackson & Sorensen, 1999: 110). John Locke berpendapat bahwa negara ada untuk memberikan kebebasan kepada warga negaranya dan dengan demikian memungkinkan mereka untuk menjalani kehidupan dan mengejar kebahagiaan tanpa campur tangan berlebihan dari orang lain. Locke memfokuskan liberalisme pada konstitusi negara dan adanya toleransi. Lalu Jeremy Bentham berpendapat bahwa konstitusi negara ada untuk mematuhi hukum interasional dalam kebijakan luar negerinya. Bentham memfokuskan hukum internasional dan adanya hubungan timbale balik yang terjadi antar negara. Immanuel kant mengatakan bahwa dunia yang menghormati konstitusi dan bisa membangun 'perdamaian abadi' di dunia. Untuk mencapai perdamaian tersebut, dibutuhkan perwakilan demokrasi dari semua negara, adanya hukum internasional, dan pergerakan manusia dan perdagangan yang bebas. Kant menekankan liberalisme pada kemajuan, perkembangan dan perdamaian abadi.
Setelah Perang Dunia II terdapat empat pemikiran dasar liberalisme yang dikemukakan oleh Robert Jackson dan George Sorensen dalam bukunya yang berjudul ‘Pengantar Studi Hubungan Internasional’ (2005).Pertama adalah liberalisme sosiologis.Liberalisme sosiologis beranggapan bahwa studi hubungan intenasional tidak hanya berfokus pada negara namun juga berfokus pada hubungan internasional, termaksud hubungan antar kelompok, antar organisasi bahkan antar individu. Sebuah dunia dengan sejumlah besar jaringan transnasional dengan demikian akan lebih damai (Dugis, 2013). Kaum liberalis sosiologis tidak setuju dengan pendapat kaum realis bahwa studi hubungan internasional adalah studi mengenai hubungan antar pemerintah negara berdaulat.Mereka meyakini bahwa studi hubungan internasional tidak hanya terpaut hubungan hubungan antar pemerintah negara berdaulat saja, namun juga mengenai hubungan transnasional. Hubungan antar masyarakat yang semakin intens akan menyebabkan terciptanya integrasi diantara masyarakat itu sendiri. Integrasi ini kemudian menyebabkan masyarakat sepakat bahwa konflik atau masalah yang ada dapat diselesaikan tanpa mengarah pada perang, tetapi lebih kepada kerjasama.
Kedua, liberalisme interdependensi.Interdependensi berarti saling ketergantungan. Saling ketergantungan dapat timbul baik pada rakyat maupun pemerintah dalam hubungannya dengan negara lain. Saling ketergantungan atau interdependensi ini timbul karena modernisasi yang terjadi. Modernisasi adalah proses yang melibatkan kemajuan di sebagian besar wilayah kehidupan. Proses modernisasi memperbesar ruang lingkup kerjasama melintasi batas internasional (Jackson & Sorensen, 1999: 109-111).  Kaum liberal ini berpendapat bahwa pembagian tenaga kerja yang tinggi dalam perekonomian internasional meningkatkan interdependensi antar negara, dan hal ini menekan dan mengurangikonflik kekerasan antar negara, sehingga dapat dikatakan bahwa kaum ini memperhatikan arus hubungan ekonomi dan ketergantungan yang saling menguntungkan antara rakyat dan pemerintah. Liberalisme interdependensi menganggap bahwa tujuan suatu negara adalah kesejahteraan negara, bukanlah keamanan negara seperti anggapan kaum realis.
Ketiga, liberalisme institusional.Liberalisme institusional berpendapat bahwa institusi internasional merupakan aktor hubungan internasional yang memiliki kepentingan independen, tidak hanya sekedar sebagai lembaga yang diciptakan oleh negara tertentu demi mencapai kepentingannya.Keberadaan institusi internasional yang berdiri sendiri ini dapat memajukan kerjasama antar negara.Institusi internsional berperan dalam mengurangi masalah ketidakpercayaan antar negara dalam hubungan internasional.
Pemikiran dasar liberalisme yang terakhir ialah liberalisme republikan.Kaum realis republikan menganggap bahwa demokrasi liberal bersifat lebih damai dan patuh pada hukum daripada sistem politik lain (Jakcson & Sorensen, 1999: 159). Mereka menganggap negara demokratis tidak akan berperang satu sama lain, namun akan menggunakan kemampuannya untuk menyelesaikan konflik secara damai dan menghasilkan hubungan kerja sama yang saling menguntungkan. Keempat pemikiran liberalisme ini lahir pada masa liberalisme modern dengan tujuan mennekan konflik atau perang yang terjadi dalam hubungan internasional.
Neoliberalisme muncul sekitar tahun 1950-1970 dengan dikembangkan oleh kritikus realism /neorealisme.Neoliberalisme sependapat dengan realis bahwa negara merupakan aktor utama dalam hubungan internasional, namun juga setuju dengan liberalis bahwa aktor non-negara pun memiliki peran dalam hubungan internasional. Neoliberalisme berfokus pada bagaimana IGO dan aktor non-negara meningkatkan kerja sama dan perdamaian. Neoliberalis m engakui bahwa kerjasama mungkin sulit untuk mencapai ketika pemimpin suatu negara menganggap mereka tidak memiliki kepentingan yang sama (Dugis 2013).
Kesimpulannya adalah bahwa teori liberalisme memiliki pandangan positif terhadap sifat dasar manusia. Individu bisa mengendalikan dirinya, sehingga untuk mencapai kepentingannya individu akan saling bekerja sama tanpa perlu terlibat dalam konflik. Kerja sama yang dilakukan akan memberikan kemajuan bagi kualitas individu itu sendiri. Sehingga dapat dikatakan hubungan internasional lebih bersifat kooperatif, bukan konfliktual.
3.      Perkembangan Liberalisme Di Indonesia.
Paham  liberalisme yang ada di kawasan Eropa sudah menyebar dan masuk ke kawasan Indonesia. Masuk dan menyebarnya paham liberalisme di kawasan Indonesia ini, dibawa oleh bangsa barat yang berdatangan ke Indonesia. Perlu diketahui,  bahwa masuknya paham liberalisme ke Indonesia seiring dengan kolonialisme yang dilakukan oleh bangsa Belanda. Hal yang demikian sudah menjadi suatu hal yang biasa, dikarenakan bangsa Belanda merupakan bangsa yang menganut paham  liberal. Menyebarnya paham Liberalisme yang dilakukan oleh bangsa Belanda seiring dengan semangat bangsa Belanda, yaitu Gold, Glory dan Gospel
Masuknya paham Liberalisme di Indonesia, dimulai pada zaman penjajahan Belanda. Tepatnya, saat Belanda mengeluarkan Undang Undamg Agraria tahun 1870. Alasan Pemerintah Belanda mengeluarkan Undang Undang Agraria tersebut ialah untuk mengakhiri kegiatan Tanam Paksa atau yang lebih dikenal dengan nama Culturstelsel. Yang sebelumnya pelaksanaan Tanam Paksa tersebut untuk mengisi ekonomi negara Belanda yang kosong serta telah menyengsarakan rakyat Indonesia. Dari UU tersebut, maka kebebasan serta keamanan para pengusaha pun semakin terjamin, dalam memperoleh tanah. Serta, mengatur perpindahan perusahaan-perusahaan gula ke tangan swasta.
Kemungkinan pemerintah Belanda, terinspirasi dari adanya revolusi Perancis tahun 1848, atau karena adanya kemenangan partai liberal dalam parlemen Belanda yang mendesak pemerintah Belanda untuk menerapkan sistem ekoomi liberal di negeri jajahannya terutama di Indonesia (Onifah,: 1).. Oleh karena itu ide ide liberalisme semakin meluas.
Jadi, bagi orang orang Indonesia, tanah sudah kembali ke tangan mereka atau sudah menjadi hak milik mereka. Hal ini sesuai dengan tujuan UU Agraria, yaitu untuk melindungi petani petani Indonesia terhadap orang orang asing. Akan tetapi bagi para pengusaha asing diperbolehkan menyewanya dari pemerintah sampai selama 75 tahun. Jadi sejak di keluarkannya UU tersebut, maka industri industri perkebunan Eropa mulai masuk ke Indonesia.
Hal tersebut sama seperti yang dituliskan pada artikel Sistem Ekonomi Liberal Pada Masa Kolonial, bahwa Liberalisme ini membawa ajaran pada bidang ekonomi bahwa dikehendaki pelaksanaan usaha usaha Bebas dan pembebasan kegiatan ekonomi dari campur tangan negara.
Menurut Rickles, dalam bukunya Sejarah Indonesia Modern periode tahun 1870 – 1900 atau juga disebut dengan periode liberal adalah jaman saat semakin hebatnya eksploitasi terhadap sumber sumber pertanian Jawa maupun di luar Jawa. (1998: 190). Ternyata dibalik dari periode liberal ini, bagi masyarakat penduduk pribumi Jawa merupakan suatu masa penderitaan yang semakin berat. Karena menurut penduduk Jawa, sistem perekonomian liberal ini hanya menguntungkan pihak swasta Belanda maupun para kolonial. Serta membuat di negeri Belanda sendiri menjadi pusat perdagangan.
Walaupun dibalik itu semua, dengan dibebaskan kehidupan ekonomi dari segala campur tangan pemerintah serta pengahpusan adanya unsur paksaan dari kehidupan ekonomi, hal tersebut akan mendorong perkembangan ekonomi Hindia Belanda (Onifah, : 1).
Periode liberal ini, mengakibatkan penerobosan dalam bidang ekonomi, perlahan lahan masuk ke masyarakat Indonesia. terutama di Jawa, banyak penduduk pribumi Jawa yang mulai menawarkan tanah tanah mereka kepada pihak swasta Belanda untuk dijadikan perkebunan perkebunan besar. Akan tetapi perkebunan perkebunan milik pengusaha asing atau partikelir seperti teh, kopi, kina, karet atau yang lainnya hanya berlangsung sampai tahun 1870 – 1885. Hal ini dikarenakan, jatuhnya harga harga gula dan kopi di pasaran dunia. Akibat dari hal tersebut, maka terjadi adanya reorganisasi pada kehidupan ekonomi Hindia Belanda. Serta mayoritas perkebunan perkebunan besar menjadi milik perseroan terbatas (Onifah,: 3). Akhirnya sekitar pada abad 19, sistem perekonomian yang pada mulanya dibentuk dari sistem liberalisme, maka digantikan oleh sistem ekonomi terpimpin.
Selain paham tersebut dibuktikan dengan adanya Undang Undang Agraria. Pemerintah Belanda juga memberi kebebasan dalam beragama. Maksud dari kebebasan beragama ini adalah kebebasan masyarakat Indonesia untuk memilih agama yang hendak dianutnya. Hal tersebut sudah dibuatkan dan dimaksudkan dalam Undang Undang Dasar Belanda tahun 1855 ayat 119 yang menyatakan bahwa pemerintah bersikap netral terhadap agama, artinya tidak akan memihak salah satu agama atau mencampuri urusan agama.
Masuknya paham liberalisme juga melalui bidang pendidikan yang dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda melalui politik etis. Akan tetapi,pada dasarnya politik etis yang dilaksaakan oleh kolonial Belanda tersebut lebih condong menguntungkan para pemilik modal atau pengusaha Belanda sendiri. Dikutip dari Marwati Djoened Poesponegoro (2008 :22) yang berbunyi “Politik liberal mementingkan prinsip kebebasan terutama untuk memeberi kesempatan bagi pengusaha memakai tanah rakyat dan segala peraturan dibuat untuk melindungi para pengusaha Belanda sendiri, antara lain dalam soal memiliki atau meyewa tanah , undang-undang perburuhan, dan undang-undang pertambangan”. Pemerintah Belanda pada saat itu, mulai mendirikan Hoofdenscholen yang didirikan pada tahun  1893. Mayoritas sekolah sekola yang didirikan lebih bersifat kejuruan dengan mata pelajaran pada bidang hukum, tata buku, pengukuran tanah dan lain lain.
Perkembangan zaman dan globalisasi sebagai salah satu pengaruh yang menyebabkan perkembangan liberalisme masuk yang mampu mempengaruhi sektor-sektor yang ada di Indonesia. Hal ini memiliki unsur yang berkaitan dengan penjajahan dan kolonialisme. Terlebih lagi hal-hal itu juga berkaitan dengan adanya perang dunia maka terjadinya paham baru yang bernama liberalisme juga ada unsur berkaitan dengan perang dunia. Kemajuan paham-paham yang ada di dunia ini merupakan salah satu bukti pemikiran manusia yang kadang tertekan dengan paham atau aliran yang telah ada lebih dulu di banding dengan aliran baru ini.Aliran liberalisme merupakan aliran yang tumbuh akibat dari tekanan dari dogma agama yang senantiasa mempengaruhi masyarakat pada masa itu. Masyarakat mulai tidak nyaman dengan adanya peraturan yang mengutamakan agama dan gereja padahal jika di telaah namanya juga kehidupan dan itu akan membuahkan pemikiran-pemikiran yang baru. Munculnya banyak filsuf juga salah satu bukti akan memunculan paham liberalisme ini. Liberalisme adalah aliran yang lahir dari tekanan dogma agama dan geraja. “Liberalisme aliran Adam Smith ialah satu-satunya tugas negara yakni memelihara ketertiban umum dan menegakkan hukum agar kehidupan ekonomi bisa berjalan dengan lancar” (Notosusanto. 2010: 374).
Pengaruh liberalisme juga sedikit banyak telah berkembang di Indonesia bahkan itu terjadi pada masa kolonialisme. Hal ini terlihat dari beberapa bidang yang dijadikan sentral dalam masa kolonialisme tersebut. Banyak kegiatan- kegiatan bidang tertentu yang telah mengarahkan kondisi Indonesia pada asas yang menekankan aliran liberalisme. Terlebih lagi jika dilihat dari sejarah negara Belanda, Belanda merupakan salah satu negara yang menerapkan asas liberalisme dalam kehidupannya.Itu yang menjadi pengaruh besar terhadap perkembangan liberalisme di Indonesia. Perkembangan liberalisme di mulai sejak masa kolonialisme. Apalagi ditambah dengan politik baru yang diterapkan di Indonesia yakni demokratis juga memberikan warna baru dalam berkembangnya liberalisme. Dalam (Notosusanto. 2010: 371) mengatakan bahwa “sistem ekonomi kolonial antara tahun- tahun 1870 dan 1900 pada umumnya di sebut sistem liberalisme, maksudnya pada masa tersebut untuk pertama kalinya sejarah kolonial paham liberalisme di terapkan dalam bidang ekonomi dalam sektor permodalan dan perkebunan”.

Belanda pertama datang ke Indonesia pada tahun 1596, yang diawali dengan ekspedisi, yang dilakukan oleh Cornelis de Hotman dengan tujuan mencari rempah-rempah dan melakukan penjelajahan.Kolonisasi yang dilakukan bangsa Belanda di Indonesia dimulai sejak VOC dibubarkan pada tanggal 31 Desember 1799, wilayah jajahan VOC diambil oleh pemerintah kolonial Belanda. Sehingga untuk menjalankan roda pemerintahan di Indonesia, pemerintah Perancis (yang waktu itu menguasai Belanda) mengirimkan Deandles di Indonesia.
Daendles pada masa pemerintahannya dikenal sebagai penguasa pemerintahan yang sangat disiplin, keras dan kejam. Oleh karena itu, Ia disebut sebagai gubernur jendral bertangan besi.Akan tetapi dalam tugas perintahnya Daendles melakukan kesalahan, menjual tanah milik negara kepada pengusaha asing dimana dia tanpa sengaja telah melanggar undang-undang negara. Oleh karena itu, pemerintah Belanda memanggil kembali Daendles ke negeri Belanda. Daendles berkuasa di Indonesia pada tahun 1808-1811”(Suwanto, dkk, 1997: 25).
Sesuai dengan tuntutan kaum liberal, maka pemerintah kolonial segera memberikan peluang kepada usaha dan modal swasta untuk sepenuhnya menanamkan modal mereka dalam berbagai usaha dan kegiatan di Indonesia, terutama di daerah perkebunan besar di Jawa maupun di luar Jawa.“Dengan dikeluarkannya Undang-undang Agraria tahun 1870, Indonesia memasuki zaman penjajahan baru. Sejak tahun 1870 di Indonesia telah diterapkan opendeur politiek, yaitu politik pintu terbuka terhadap modal-modal swasta asing. Selama periode tahun 1870 dan 1900 Indonesia terbuka bagi modal swasta Barat, karena itulah maka masa ini sering disebut zaman liberalisme” (Marwati Djoened. 1993).
Di samping modal swasta Belanda sendiri, modal swasta asing lain juga masuk ke Indonesia, misalnya modal dari Inggris, Amerika, Jepang, dan Belgia. Modal-modal asing tersebut tertanam pada sector-sektor pertanian dan pertambangan, antara lain karet, teh, kopi, tembakau, tebu, timah dan minyak.Akibatnya perkebunan-perkebunan dibangun secara luas dan meningkat pesat.Misalnya, “perkebunan tebu sejak tahun 1870 mengalami perluasan dan kenaikan produksi yang pesat, khususnya di Jawa.Demikian pula perkebuunan teh dan tembakau mengalami perkembangan yang pesat.Sejak semula tembakau telah ditanam di daerah Yogyakarta dan Surakarta.Sejak tahun 1870 perkebunan itu diperluas sampai ke daerah Besuki (Jawa Timur) dan daerah Deli (Sumatra Timur).Hasil-hasil bumi penting yang lainnya adalah kina, kakao, kapas, minyak sawit, gambir, minyak serai, karet, dll.lalu dibuka pula pertambangan mas, timah, dan minyak” (Pane, Sanusi. 1980).
Dampak cultuurstelsel terhadap orang-orang Jawa dan Sunda di seluruh Jawa sangat beraneka ragam, sedangkan bagi kaum elit bangsawan di seluruh Jawa zaman ini benar-benar menguntungkan. Kedudukan mereka menjadi aman dan penggantian secara turun temurun untuk jabatan-jabatan resmi menjadi norma, tetapi mereka tergantung secara langsung kepada kekuasan Belanda untuk kedudukan dan penghasilan mereka. Upaya menentang Cultuurstelsel kini muncul di negeri Belanda.Pemerintah mulai menjadi bimbang apakah sisitem ini masih dapat dipertahankan lebih lama lagi.Pada tahun 1848 untuk pertama kalinya konstitusi liberal memberikan parlemen Belanda (Staten-Generaal) peranan yang berpengaruh dalam urusan-urusan penjajahan. Mereka mendesak di adakannya suatu pembaharuan liberal: pengurangan peranan pemerintah dalam perekonomian kolonial secara drastis, pembebasan terhadap pembatasan-pembatasan perusahaan swasta di Jawa dan Sunda. Pada tahun 1860 Eduard Douwes Dekker menerbitkan buku berjudul Max Havelaar.Akan tetapi, kaum Liberal menghadapi suatu dilema, mereka ingin dibebaskan dari cultuurstelsel tetapi bukan dari keuntungan-keuntungan yang di peroleh bangsa Belanda dari Jawa.Akhirnya diputuskan untuk dihapuskannya cultuurstelsel dari sedikit demi sedikit.Penghapusan di mulai dari komuditi yang paling sedikit mendatangkan keuntungan yaitu lada, kemudian cengkih, nila, teh, dan seterusnya.
Dengan berjalannya politik etis di Indonesia yang di laksanakan oleh pemerintah kolonial Belanda di awal abad XX semakin menekankan liberalisme di Indonesia. “Salah satu bentuk kebijakan yang di terapkan oleh kolonial Belanda ialah unifikasi, upaya mengikat negeri jajahan atau koloninya dengan penjajahnya, jadi bisa di pastikan negara koloni itu terikat oleh negara jajahan dengan menyampaikan kebudayaan Barat kepada orang Indonesia. Pendidikan, sebagaimana menjadi cara yang tepat agar  rakyat Indonesia dengan pemikiran penjajah memiliki perspektif yang cenderung sama” (Noer. 1991: 183). Bahkan dengan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 seharusnay menjadi momentum yang tepat untuk menghapus penjajahan secara total, termasuk mancabut pemikiran sekular-liberal yang ditanamkan oleh penjajah. Namun entah kenapa kemerdekaan ini hanya di jadikan sebagai pergantian rezim yang berkuasa, bukan mengganti sistem atau ideologi penjajah itu sendiri. Pemerintahan memang berganti, tapi ideologi tetap sekular-liberal.
Pada zaman Orde Lama ini, sistem perekonomiannnya berlandaskan kekeluargaan atau koperasi. Serta pada zaman itu pula, perekonomian Indonesia tidak mengizinkan adanya sistem Liberalisme. Artinya ada kebebasan usaha yang tidak terkendali sehingga memungkinkan terjadinya eksploitasi kaum ekonomi yang lemah. Dengan adanya sistem tersebut, maka dapat berakibat semakin luasnya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin.
Dalam perkembangannya demokrasi yang dianut di Indonesia, yaitu demokrasi berdasarkan Pancasila, masih dalam taraf perkembangan. Dan mengenai sifat dan cirinya masih terdapat pelbagai tafsiran serta pandangan. Pada perkembangannya, sebelum berdasarkan pada demokrasi pancasila, Indonesia mengalami tiga periodeisasi penerapan demokrasi, yaitu:
1.      Demokrasi Liberal ( 1950-1959),
2.      Demokrasi Terpimpin ( 1959-1966), dan
3.      Demokrasi Pancasila ( 1966-sekarang).
Pada tahun 1950, Negara Kesatuan Republik Indonesia mempergunakan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) atau juga disebut Undang-Undang Dasar 1950. Berdasarkan UUD tersebut pemerintahan yang dilakukan oleh kabinet sifatnya parlementer, artinya kabinet bertanggung jawab pada parlemen. Jatuh bangunnya suatu kabinet bergantung pada dukungan anggota parlemen.
Ciri utama masa Demokrasi Liberal adalah sering bergantinya kabinet. Hal ini disebabkan karena jumlah partai yang cukup banyak, tetapi tidak ada partai yang memiliki mayoritas mutlak. Setiap kabinet terpaksa didukung oleh sejumlah partai berdasarkan hasil usaha pembentukan partai ( kabinet formatur ). Bila dalam perjalanannya kemudian salah satu partai pendukung mengundurkan diri dari kabinet, maka kabinet akan mengalami krisis kabinet. Presiden hanya menunjuk seseorang ( umumnya ketua partai ) untuk membentuk kabinet, kemudian setelah berhasil pembentukannya, maka kabinet dilantik oleh Presiden.
Suatu kabinet dapat berfungsi bila memperoleh kepercayaan dari parlemen, dengan kata lain ia memperoleh mosi percaya. Sebaliknya, apabila ada sekelompok anggota parlemen kurang setuju ia akan mengajukan mosi tidak percaya yang dapat berakibat krisis kabinet. Selama sepuluh tahun (1950-1959) ada tujuh kabinet, sehingga rata-rata satu kabinet hanya berumur satu setengah tahun. Kabinet-kabinet pada masa Demokrasi Parlementer adalah :
a.       Kabinet Natsir (7 September 1950-21 Maret 1951),
b.      Kabinet Soekiman (27 April 1951-23 Februari 1952),
c.       Kabinet Wilopo (3 April 1952-3 Juni 1953),
d.      Kabinet Ali-Wongso ( 1 Agustus 1953-24 Juli 1955),
e.       Kabinet Burhanudin Harahap,
f.       Kabinet Ali II (24 Maret 1957), dan
g.      Kabinet Djuanda ( 9 April 1957-10 Juli 1959).
Program kabinet pada umumnya tidak dapat diselesaikan. Mosi yang diajukan untuk menjatuhkan kabinet lebih mengutamakan merebut kedudukan partai daripada menyelamatkan rakyat. Sementara para elit politik sibuk dengan kursi kekuasaan, rakyat mengalami kesulitan karena adanya berbagai gangguan keamanan dan beratnya perekonomian ysng menimbulkan labilnya sosial – ekonomi.
Politik sebagai Panglima merupakan semboyan partai-partai pada umumnya, sehingga berlomba-lombalah para partai politik untuk memperebutkan posisi panglima ini. Lembaga seperti DPR dan Konstituante hasil PEMILU merupakan forum utama politik, sehingga persoalan ekonomi kurang mendapat perhatian.
Pemilihan umum merupakan salah satu program beberapa kabinet, tetapi karena umur kabinet pada umumnya singkat program itu sulit dilakukan. Setelah Peristiwa 17 Oktober 1952, pemerintah berusaha keras untuk melaksanakannya. Dalam suasana liberal, PEMILU diikuti oleh puluha partai, organisasi maupun perorangan. Anggota ABRI pun ikut serta sebagai pemilih.
Pada tanggal 15 Desember 1955 pemilihan dilaksanakan dengan tenang dan tertib. Ada empat partai yang memenangkan Pemilu, yaitu Masyumi, PNI, Nahdatul Ulama, dan PKI.Namun pada prakteknya, kedua lembaga (DPR dan Konstituante) tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan. DPR tetap sebagai tempat perebutan pengaruh dan kursi pemerintahan, sedangkan konstituante setelah lebih dari dua tahun belum juga dapat menghasilkan UUD baru untuk menggantikan UUDS.
Untuk menyehatkan perekonomian, dilakukan penyehatan keuangan dengan mengadakan sanering yang dikenal dengan Gunting Syafrudin (19 Maret 1950). Uang Rp. 5,00 ke atas dinyatakan hanya bernilai setengahnya, sedangkan setengahnya lagi merupakan obligasi. Bari tindakan tersebut Pemerintah dapat menarik peredaran uang sebanyak Rp. 1,5 milyar untuk menekan inflasi.
Pemerintah juga mengeluarkan peraturan tentang Bukti Eksport (BE) untuk mengimbangi import. Eksportir yang telah mengeksport kemudian memperoleh BE yang dapat diperjualbelikan. Harga BE meningkat, sehingga pemerintah membatasinya sampai 32,5%. Karena ternyats BE tidak berhasil meningkatkan perekonomian, akhirnya peraturan tersebut dihapuskan (1959).
4.      Pendapat Setuju Akan Liberalisme.
John Locke dan Hobbes; konsep State of Nature yang berbeda. Kedua tokoh ini berangkat dari sebuah konsep sama. Yakni sebuah konsep yang dinamakan konsep negara alamiah atau yang lebih dikenal dengan konsep State of Nature.
Hobbes (1588 – 1679) berpandangan bahwa dalam "State of Nature" individu itu pada dasarnya jelek (egois) – sesuai dengan fitrahnya. Namun, manusia ingin hidup damai. Oleh karena itu mereka membentuk suatu masyarakat baru – suatu masyarakat politik yang terkumpul untuk membuat perjanjian demi melindungi hak-haknya dari individu lain dimana perjanjian ini memerlukan pihak ketiga (penguasa).
Sedangkan John Locke (1632 – 1704) berpendapat bahwa individu pada State of Nature adalah baik, namun karena adanya kesenjangan akibat harta atau kekayaan, maka khawatir jika hak individu akan diambil oleh orang lain sehingga mereka membuat perjanjian yang diserahkan oleh penguasa sebagai pihak penengah namun harus ada syarat bagi penguasa sehingga tidak seperti ‘membeli kucing dalam karung’. Sehingga, mereka memiliki bentuk akhir dari sebuah penguasa/ pihak ketiga (Negara), dimana Hobbes berpendapat akan timbul Negara Monarkhi Absolute sedangkan Locke, Monarkhi Konstitusional. Bertolak dari kesemua hal tersebut, kedua pemikir ini sama-sama menyumbangkan pemikiran mereka dalam konsepsi individualisme. Inti dari terbentuknya Negara, menurut Hobbes adalah demi kepentingan umum (masing-masing individu) meskipun baik atau tidaknya Negara itu kedepannya tergantung pemimpin negara. Sedangkan Locke berpendapat, keberadaan Negara itu akan dibatasi oleh individu sehingga kekuasaan Negara menjadi terbatas – hanya sebagai “penjaga malam” atau hanya bertindak sebagai penetralisasi konflik.
Adam Smith didalam buku karanganya yakni The Wealth Of Nation, mengatakan bahwa pasar adalah tangan tak tampak yang memanfaatkan kapital atau modal,sedangkan negara dalam pandanganya adalah berbahaya dan tidak bisa dipercaya.Untuk itu alternatif paling baik bagi kekuasaan negara yang besar adalah kebebasan pasar.Dengan semboyannya ‘’Laissez faire,Laissez passer” Smith percaya bahwa dalam mekanisme pasar ketika setiap individu mengejar kepentingan pribadi,tetapi individu-individu tersebut tentu memiliki kebaikan bagi kemakmuranya,sementara kebaikan untuk kemakmuran itulah yang berguna bagi masyarakat.Otoritas pemerintah dilihat sebagai membebani diri sendiri dengan perhatian yang tidak perlu.Bukan hanya itu pemerintah mengambil alih wewenang yang bukan miliknya.
Disini Adam Smith melihat bahwa pasar bebas membantu kemakmuran individu dimana natinya kemakmuran itu juga akan bermanfaat bagi orang lain.Hal ini dapat terjadi karena ketika individu yang awalnya ingin mengejar kepentingan untuk dirinya sendiri dengan memilih kebaikan untuk kemakmuranya maka masyarakat lain juga akan mengambil keuntunganya,ketika kegiatan memilih kemakmuran itulah yang nantinya juga dapat bermanfaat bagi masyarakat.Oleh karena itu campur tangan pemerintah hanya akan mengacaukan ini semua karena menurut Adam smith pemerintah itu suka mengambil alih wewenang yang bukan miliknya.
Menurut kaum liberal klasik,pasar bebas tidak menciptakan konflik sosial,tetapi menyelesaikanya mekanisme tangan yang tak tampak dalam hukum penawaran dan permintaan mendorong harmonisasi rencan hidup individu.Dengan alasan serupa mereka mendukung perdagangan bebas antar negara sebagai cara terbaik untuk mencapai perdamaian internasional.Dalam hal ini cita cita liberal bukan hanya terbentuknya masyarakat yang terdiri dari orang-orang egois yang mengejar kepentingan mereka sendiri,melainkan sekumpulan warga yang mandiri dan bertanggung jawab,yang bekerjasama untuk kebaikan individu,moral, sosial dan material.
Dari pandangan diatas dapat disimpulkan bahwa sebenarnya cita-cita liberal tidak selalu mengarah pada keegoisan orang-orang yang ingin mengejar kepentingan.namun disisi lain harus ada kemandirian,tanggung jawab,kerjasama demi kebaikan individu,moral,sosial dan material.Oleh karena didalam liberalisme sebenarnya sangat membutuhkan kerjasama maupun tanggung jawab meskipun pada akhirnya memiliki tujuan untuk kebaikan individu.
Gagasan dasar kaum liberal adalah kebebasan berdasarkan hukum.Individu dianggap sebagai aktor yang penuh damai dan kooperatif sedangkan negara bersifat buruk(anti negara).Dalam hubungan antarnegara ,semua pemain dianggap dapat menerima keuntungan. Pandangan ini sangat tidak menyetujui campur tangan negara.Pandangan initerlalu menganggap baik bahwa individu yang menyukai kerjasama.Untuk mencapai kemakmuran individu harus kerjasama tidak befitu saja mendapatkan keuntungan namun harus melalui kerja keras.Sedangkan negara suka mengambil yang bukan menjadi hak negara.
Terdapat ketidaksepakatan yang besar dikalangan kaum liberal tentang apa yang termasuk dalam kebebasan individu dan bagaiman kebebasan ini diperluas secara merata kepada semua orang.Beberapa pemikir seperti Herbert Spencer (1820-1903) dan F.A Hayek (1899-1992) mendukung pandangan yang negatif tentang kebebasan.Mereka menyebutkan bahwa mendorong kebebsan hanya cukup dengan menjaga agar campur tangan negara dan pihak lain dalam kehidupan kita tetap minimal.Kita hanya dilarang untuk melakukan gangguan fisik secara langsung dan sengaja.Bagi mereka satu-satunya peran negara yang sah adalah menegakkan hukum dan ketertiban demi keamanan diri dan harta kekayaan kita.
Sedangkan kaum liberal lain,seperti L.T. Hohouse (1864-1929) dan william Beveridge (1879-1963),mengadopsi pandangan yang positif mengenai kebebasan.Mereka berpendapat bahwa aktivitas kita dapat dirasakan dan berpengaruh buruk terhadap orang lain dengan berbagai cara dapat diperkirakan dan dikontrol,kendati tidak sengaja.Bahkan kaum liberal tertentu menyatakan bahwa negara berkewajiban untuk menjamin tersedianya pilhan-pilihan tertentu,melalui kebijakan seperti pendidikan umum, pelayanan kesehatan dan program kesejahteraan.
Uraian diatas memuat bahwa ada pemikir yang mendukung pandangan negatif mengenai kebebasan yakni berisikan kebebasan akan tercapai jika tidak ada campur tangan negara.Sedangkan negara hanya bertuga menegakkan hukum dan ketertiban u untuk kepentingan kita.Serta  pemikir lainya yang lebih mengadopsi pandangan yang positif mengenai kebebasan yakni apa yang kita lakukan bisa berpengaruh buruk kepada orang lain meskipun sudah dikontrol dan hal itu terjadi tanpa disengaja.
Namun demikian kaum liberal secara umum memiliki kesamaan moral dan etos sosial,dan perdedaan mereka sebagian mencerminkan pandangan alternatif tentang sejauh mana tatanan sosial tertentu mewujudkan cita-citanya.Inti dari etos ini terletak pada perhatian bahwa sedapat mungkin masyarakat mencerminikan upaya dan bakat individu serta ketidaksukaan terhadap pengistimewaan yang tidak tepat dan tradisi yang tak teruji yang memberikan keuntungan tidak sah kepada kelompok-kelompok tertentu.Sehingga pemikir liberal seperti Spencer Dan Hayek yang melihat pasar sebagai mekanisme netral yang menanggapi tuntutan dan prakarsa individu yang tak terbatas dengan cara tak terduga sama sekali namun sesungguhnya adil.
Sebenarnya secara umum kaum liberal memiliki kesamaan moral dan etos sosial seperti tadi diantaranya adalah adanya tanggungjawab maupun kerjasama.Namun yang membedakan pandangan mereka adalah sejauh mana pandangan yang telah mereka sampaikan tersebut dapat mewujudkan cita-citanya.Yaang terpenting adalah masyarakat mampu dan dapat menyampaikan bakatnya apalagi sampai terjadi pemusatan keuntungan pada kelompok – kelompok tertentu.
Dari uraian diatas disimpulkan bahwa liberalisme yang selalu berkaitan dengan pasar bebas dan kebebasan individu adalah benar adanya.Namun sebelumnya kita harus mampu menyampaikan kebebasan yang bagaimana yang dimaksudkan dalam liberalisme karena didalam kehidupan kaum liberalisme sendiri ada perbedaan pandangan tentang maknja positif dan negatif tentang Kebebasan.Oleh sebab itulah kita sudah harus mampu menjelaskan kebebasan yang mana yang kita maksud di dalam paham liberalisme.Yang terpenting bahwa di dalam paham liberalisme sebenarnya ada pandangan yang sama yakni mengenai kesempatan yang sama untuk setiap individu serta kebebasan dimana kebebsan tersebut harus diikuti dengan tanggungjawab dan kerjasama agar tercapi kebaikan individu baik dalam segi moral, sosial maupun materialnya.
Dari semua penjelasan diatas, saya pribadi berpendapat bahwa saya mendukung akan liberalisme, namun perlu diingat bahwa saya tidak mendukung liberalisme dalam arti luas namun saya mendukung liberalisme yang bertanggung jawab dan  tidak menyinggung akan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan).





DAFTAR PUSTAKA

Onifah, Anisa & dkk. ---. Sistem Ekonomi Liberal Pada Masa Kolonial.

Adisusilo, Sutarjo. 2013. Sejarah Pemikiran Barat : Dari Klasik Sampai Yang Modern. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Notosusanto, Nugroho. 2010. Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV. Jakarta: Balai Pustaka
Ricklefs, H.C. 1981. Sejarah Indonesia Modern, diterjemahkan oleh Dharmono Hardjowidjono. Yogyakata: Gajah Mada Univesity Press.


















 

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda