Jumat, 19 Desember 2014

Feodalisme




FEODALISME (KONTRA)



 (Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah SejarahIntelektual)




Oleh:

RIDHO R PUTRA
(120210302099)
Kelas B





PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014







1.      Pengertian Foedalisme.
Feodalisme pada umumnya dikenal sebagai sistem sosial khas Abad Pertengahan (di Eropa maupun di belahan dunia lain) sebagai pembeda perode tersebut dari modernitas. Istilah tersebut dimunculkan di Perancis pada abad ke-16.
Istilah “feudal” (dalam konteks Eropa) berasal dari kata Latin “feudum” yang sama artinya dengan fief, ialah sebidang tanah yang diberikan untuk sementara kepada seorang vassal (penguasa bawahan atau pemimpin militer) sebagai imbalan atas pelayanan yang diberikan kepada penguasa (lord) sebagai pemilik tanah tersebut.Dalam hal ini  foedalisme berarti penguasaan hal –hal yang berkaitan dengan masalah kepemilikan tanah ,khususnya yang terjadi di Eropa Abad Pertengahan.
Foedalisme diartiakan dan difahami sebagai suatu sistem yang ada di Eropa terjadi pada sekitar abad IX-XII,merupakan dasar pemerintahan lokal,pembuatan undang-undang,menyusun dan mengatur angkatan perang,dan berbagai seluk beluk yang berhubungan dengan kekuasaan eksekutif.Dalam doktrin foedal dikatakan bahwa seluruh tanah kerajaan beserta isinya itu berasal dari raja.Raja sebagai pemilik tanah-tanah luas terbentang di wilayah kerajaannya.
Dalam pengertian yang lain dijelaskan bahwa feodalisme adalah sebuah sistem pemerintahan dimana seorang pemimpin, yang biasanya seorang bangsawan, memiliki anak buah banyak yang juga masih dari kalangan bangsawan juga tetapi lebih rendah dan biasa disebut vasal. Para vasal ini wajib membayar upeti kepada tuan mereka. Sedangkan para vasal pada gilirannya ini juga mempunyai anak buah dan abdi-abdi mereka sendiri yang memberi mereka upeti. Dengan begitu muncul struktur hierarkis berbentuk piramida.Masyarakat feodal menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian, karena itu tanah menjadi faktor produksi utama dan jadilah pemilik tanah sebagai pihak yang berkuasa dan menempati lapisan atas struktur masyarakat atas dukungan petani lapisan terbawah. Di lapisan tengah terdapat pegawai kaum feodal dan pedagang.
Dari berbagai sudut pengertian tentang foedalisme dapat disimpulkan bahwa yang menjadi inti pembahasan dari feodalisme adalah tanah, dimana manusia itu hidup. Tanah memegang peranan penting pada zaman feodal, karena seseorang dikatakan memiliki kekuasaan bila orang tersebut memiliki modal utama berupa tanah yang kemudian berkembang menjadi wilayah. Sejarah feodalisme adalah sejarah peradaban manusia itu sendiri, dimana manusia dari awalnya sudah haus akan kekuasaan dan kedudukan.
2.      Perkembangan Sistem Foedal di Eropa.
2.1. Keruntuhan Abad Kegelapan (Keruntuhan Romawi Barat).
            Membahas foedalisme di Eropa yang berlangsung selama tiga abad yaitu abad IX,X dan XI itu,pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan beberapa faktor yang setidaknya berpengaruh pada tumbuhnya benih – benih foedalisme di Eropa.Periode Abad Pertengahan awal antara tahun 500-1000 merupakan masa transisi dalam sejarah Eropa yg kacau sehingga disebut sebagai ‘abad kegelapan’. Periode ini ditandai dengan :
1.      Invasi suku-suku barbar, mula-mula orang-orang Jerman (Goth, Frank, Anglo-Saxon, dll), kemudian disusul bangsa Skandinavia (Viking) antara tahun 800-1000.
2.      Terbentuknya kerajaan-kerajaan Jerman dan terjadinya perang-perang perebutan wilayah kekuasaan antara kerajaan-kerajaan tersebut.
3.      Kehancuran Romawi Barat menyebabkan ekonomi bergeser dari kota-kota ke pedesaan. Pergeseran ini mendorong kemunculan sistem feodal di Eropa.
Disintegrasi Kekaisaran Romawi Barat setelah sekitar 800 tahun dengan serangkaiaan penaklukan ,ekspansi dan konsolidasi politik serta aktifitas kultural,kemudia digantikan perannya oleh Gereja.Jatuhnya Kekaisaran Romawi Barat ,secara politis membawa pengaruh terjadinya berbagai kerajaan barbar di Eropa.Setiap kerajaan barbar harus berupaya menata pemerintahan sendiri,karena telah lepas dari pengaturan dan pengawasan Kekaisaran Romawi.Adapun berbagai negara Jerman yang penting,yang didirikan di atas reruntuhan Kerajaan Romawi Barat adalah:
1.      Kerajaan Goth Timur,wilayahnya meliputi Italia, Slav dan Burgundia (Swiss),
2.      Kerajaan Goth Barat,meliputi Spanyol,Kerajaan Vandal di Afrika Utara,Kerajaan Franka di Perancis,Belgia,Belanda,dan Jerman Barat.Sementara itu,sumbangan bangsa Aglo-Saxons yang terhalau dari Jerman menyerbu ke tanah Inggris,kemudian mendesak bangsa-bangsa Kelt yang datang lebih dulu ke kepulauan itu.
Akibat runtuhnya Romawi Barat,telah menyebabkan wajah Eropa menjadi masyarakat Agraris dengan rumah tangga desa tertutup.Disitu tidak terdapat lalu lintas uang.Semua wujud kemasyarakatan didasarkan atas kepemilikan tanah.Hanya pemilik tanah yang memungkinkan adanya administrasi dan sistem militer negara,keadaan ini menciptakan kebutuhan akan tanah-tanah luas.Telah terjadi anarkhi selama tiga abad (abad VI,VII,VIII) pada masa Keruntuhan Romawi,tercipta ketidakstabilan politik, terjadi anarkisme,tidak ada keamanan perorangan dan hak milik,di situ terjadi pertentangan semua melawan semua. Kekerasan terjadi dimana-mana, para petani mencari perlindungan di sekitar benteng yang diperkuat terhadap ancaman penyerbuan gerombolan bersenjata.Maka,orang-prang merdeka makin lama makin tergantung pada tuan tanah,bahkan ada yang membayar dengan kemerdekaanya,tuan tanah bertindak sebagai pelindung kaum tani dan harta kekayaannya digunakan untuk biaya perang dan untuk memberi bantuan dalam bahaya kelaparan.Sebaliknya,balas jasa mengerjakan tanah untuk kepentingan tuan tanahnya.Dengan adanya kenyataan tersebut terjadilah hubungan foedal,para petani bersumpah setia dalam ikatan foedal untuk memenuhi kebutuhan hidup para tuan tanah yang memberi bantuan dan perlindungan,keselamatan hidup demi tuan tanah. 
2.2.Unsur Kebudayaan yang Membentuk Foedalisme.
Foedalisme mulai tumbuh pada percampuran kebudayaan Roma dan Jerman.Tentu saja percampuran kedua kebudayaan ini kemudian menimbulkan sebuah sistem baru yang disebut foedalisme. Unsur kebudayaan yang membentuk feodalisme adalah :
1.      Budaya militer suku-suku bangsa Jerman, berupa kebiasaan para pemimpin pasukan untuk membagikan rampasan perang kepada para prajurit sebagai imbalan atas pelayanan mereka. Pola ini merupakan dasar hubungan feodal (lord-vassal),
2.      Sistem kepemilikan tanah Romawi yg menjadi semakin penting ketika perdagangan mundur akibat perang. Para petani miskin yang tidak mampu membayar pajak sering mengalihkan tanahnya kepada bangsawan atau tuan tanah, yang kemudian meminjamkan tanah itu kepada para petani miskin untuk dikelola. Pada praktiknya para petani yg terikat pada tanah yang bukan miliknya ini berkedudukan setengah budak. Orang-orang Jerman lambat laun mengadopsi kebiasaan ini.
Evolusi menuju pemerintahan foedal dapat kita telusuri pada Kerajaan Franka.Di pusat Kerajaan Franka,awal foedalisme mulai tumbuh menuju kedewasaan kokoh.Di tengah situasi yang kacau,anarkis,merosotnya keadaan ekonomi di Eropa akibat runtuhnya perdagangan dan juga runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat,makin banyak orang bebas mencari perlindungan kepada kaum elit militer pemegang kuasa di pedalaman.Masyarakat pedalaman terdiri dari petani kecil,prajurit tak bertuan dan pengungsi dari kota yang terbengkalai itu mengikat diri menjadi penyewa tanah dan prajurit keluarga tuan tanah yang semakin besar.
Kerajaan Franka yang dibangun oleh dinasti Meroving lambat laun menghadapi dilema politik.Hal ini karena penyerbuan dari dari suku-suku barbar.Sehingga mereka tidak ada cara lain yang dapat dilakukan kecuali menghadiahkan kedudukan pemerintahan kepada ksatia dan uskup baik dari golongan sekuler maupun kegerejaan.Hadiah itu berupa tanah perdikan yang dihibahkan seumur hidup kepada para uskup tersebut dengan persyaratan tetap setia pada mereka.Pada perkembangnya,para uskup tersebut mengingkari perjanjian untuk tetap setia kepada Dinasti Meroving.Dari hal ini seyogyanya tanah yang dihibahkan tersebut bersifat sementara,tetapi ternyata beerubah menjadi hak kepemilikan tetap dan diwariskan.Tentu saja hal ini berpengaruh pada kurangnya kewibawaan Dinasti tersebut dan berakibat digantikannya oleh kekuasaan Dinasti Karoling.
Ketika Dinasti Karoling berkuasa,terjadi perubahan luar biasa yang digagas oleh Charmelagne sebagai penguasa terkenal pada masa itu.Tradisi tanah dan kepenguasaan yang semula telah merosot dicoba untuk ditata.Berkat keberhasilan dalam menghimpun pasukan-pasukan kavaleri yang mulai dirintis oleh penguasa pendahulunya,berusaha untuk memperluas wilayah kekuasaannya.Sepeninggal Charmelagne,tanda-tanda kelahiran foedalisme mulai menunjukkan bentuknya.Hal ini sekali lagi dipengaruhi oleh serbuan orang-orang barbar dari Skandinavia yang merupakan jelmaan dari suku Viking yang terkenal kejam dan buas,penguasa Franka harus membangun pertahanan baru yang kuat yang berupa tembok – tembok tebal dan puri berbenteng.Pertahan yang berupa benteng yang kokoh itu mendorong para buruh tani mulai memadati daerah daerah sekitar yang berada dalam naungan perlindungannya.
2.3.  Sistem Sosial Masyarakat Foedal.
Sistem sosial yang berkembang pada masyarakat foedal Eropa umumnya terbentuk dengan sistem manor.Manor meliputi sebidang tanah yang luas milik seorang bangsawan atau gereja. Manor merupakan suatu kesatuan sosial dan politik, dimana pemilik manor bukan hanya menjadi tuan tanah, tapi juga sebagai penguasa, pelindung, hakim dan kepala kepolisian. Walaupun bangsawan ini termasuk dalam suatu hirarki yang besar, dimana dia menjadi hamba dari bangsawan yang lebih tinggi, tapi dalam batas-batas manornya dia merupakan tuan tanah. Dia adalah pemilik dan penguasa yang tak diragukan lagi oleh orang-orang dan budak-budak yang hidup di manornya. Orang yang hidup diatas tanahnya dianggap oleh tuan tanah sebagai miliknya sebagaimana halnya rumah, tanah dan tanaman. Di sekeliling rumah bangsawan terdapat ladang rakyat yang telah dibagi-bagikan luasnya (satu) 1 atau 1 ½  hektar. ½ atau lebih dari hasil ladang ini menjadi milik tuan tanah, sedangkan sisanya untuk orang yang menggarapnya yang terdiri dari orang merdeka dan budak belian. Disini terjadi ketimpangan antara budak belian dan tuan tanah.
Orang merdeka atau dalam kalangan apapun seseorang dilahirkan, orang yang merdeka yang memiliki sendiri tanahnya tak dapat menjualnya pada tuan tanah yang lain. Pemilikannya sebenarnya berarti bahwa dia tidak dapat diusir dari tanahnya, kecuali dalam keadaan darurat. Orang yang lebih rendah dari budak tidak mempunyai hak ini. Seorang budak belian terikat pada tanah yang dikerjakannya, tanpa ijin dan keterangan yang kuat, dia tidak akan diijinkan untuk meninggalkan baik masih dalam batas-batas manor tuannya maupun pada manor bangsawan lainnya. Berdasarkan statusnya timbul serentetan kewajiban-kewajiban yang menjadi dasar dari organisasi ekonomi manor. Kewajiban-kewajiban ini dapat berupa keharusan bekerja untuk tuan tanah dan lain sebgainya. Kewajiban ini berbeda-beda antara manor yang satu dengan manor lainnya, pada tempat-tempat tertentu mereka harus bekerja lima hari dalam seminggu untuk tuan tanahnya, sehingga tanahnya sendiri dikerjakan oleh keluarganya (anak dan istrinya). Dan akhirnya budak belian juga harus membayar beberapa macam pajak, seperti pajak kepala, pungutan kematian, pajak kawin atau iuran untuk pemakaian pabrik atau tungku. Jika budak belian memberikan tenaganya untuk tuan tanah, maka sebagai imbalannya si tuan tanah memberikan sesuatu yang tidak dapat diusahakan sendiri oleh sang budak. Yang utama yaitu menjamin keamanan fisik.
Petani merupakan sasaran utama para perampok atau musuh, mereka tidak berdaya kalau ditangkapi dan tidak mampu melindungi miliknya terhadap perampokan. Dari hal itu mereka butuh perlindungan dan tidak heran meskipun budak merdeka memberikan pengabdiannya pada tuan tanah. Dan sebagai imbalan pengabdian mereka dalam hal politik, ekonomi dan social ini, mereka mendapat perlindungan dari tuan tanah. Disamping itu tuan tanah juga memberikan suatu bentuk keamanan ekonomi. Pada saat-saat bahaya kelaparana melanda, tuan tanahlah yang memberi makan mereka dari simpanan di gudangnya. Walaupun meraka harus membayarnya, budak belian itu dibolehkan memakai peralatan dan ternak tuan tanah untuk mengerjakan tanahnya ataupun tanah tuannya. Pada saat-saat budak belian tidak punya alat-alat produksi, maka mereka akan diberi alat-alat tersebut dengan Cuma-Cuma kepada sang Budak.
Beberapa hal yang perlu diketahu dalam perekonomian lingkungan manor yakni, yang pertama masyarakat diatur dan disusun menurut tradisi, karena tidak adanya pemerintah pusat yagn kuat, maka palaksanaan intruksi dari ataspun sangat lemah. Akibatnya laju perubahan dan perkembangan ekonomi masyarakat ini menjadi dangat lambat selama abad pertengahan. Yang kedua, peredaran uang sedikit sekali, karena manor hanya mencukupi kebutuhannya sendiri tidak menjual hasil produksinya ke kota-kota, maksimal hanya kebutuhan kota kecil setempat. Tidak ada manor yang memenuhi kebutuhannya sedemikian rupa sehingga hubungan dengan dunia luar tidak terjalin sama sekali, bahkan beberapa budak membeli kebutuhan karena banyak barang-barang yang tidak mampu dihasilaknnya sendiri. Hal diatas menyebabkan sedikit sekali peredaran uang yang terjadi.
Penggarap tanah membayar kewajibannya kepada tuan tanah dalam berbagai bentuk, setiap budak harus bekerja beberapa hari tertentu dan memberikan barang-barang tertentu seperti telor, ayam, itik, babi dan lain sebagainya. Memang benar untuk barang-barang yang diberikannya mereka dibayar ala kadarnya tapi kalau dibandingkan denga keseluruhannya jumlahnya tidak berarti, sehingga dapat disimpulkan bahwa seluruh perekonomian manor merupakan suatu perekomian alami, karena perekonomian ini tidak tergantung pada perdagangan yang memerlukan peredaran uang.
Dari uraian diatas kita dapat memahami secara umum sistem feodal yang terjadi pada abad pertengahan, yang mana suatu sistem dalam masyarakat saat itu terdapat dua kelas sosial yaitu kelas penguasa tuan tanah dan kelas pekerja yakni para budak belian. Tulisa ini menjadi gambaran yang menarik tentang kehidupan di zaman Feodal, hubungan dianatara tuan tanah dengan hambanya sering bersifat eksploitasi yang ekstrim. Tapi pada dasarnya masih terlihat suatu hubungan yang saling menguntungkan, masing-masing pihak memberikan imbalan-imbalan yang sangat penting untuk mempertahankan kehidupan dalam keadaan dimana organisasi dan stabilitas politik sudah tidak terorganisir lagi.
Ada setidaknya empat komponen utama yang membentuk sistem feodal yaitu :
1.      Lord adalah pemilik tanah, biasanya seorang bangsawan dari keluarga raja atau kalangan agamawan (uskup, biarawan),
2.      Vassal atau Knights adalah adalah kaum bangsawan yang memberikan jasa (umumnya dalam bentuk dukungan militer) kepada Lord dengan imbalan berupa tanah yang disewakan,
3.      Fief adalah tanah yang disewakan berupa lahan-lahan pertanian,
4.      Serf atau penggarap tanah ialah petani yang mengerjakan lahan pertanian dengan status setengah budak.
2.4.  Peranan Petani Pada Era Foedalisme Eropa.
Petani Eropa sebenarnya merupakan kelompok sosial terbesar dalam masyarakat Abad Pertengahan.Pada awal abad itu keseluruhan petani yang berdiam di wilayah pedesaan hidup dari hasil pertanian.Ketika awal masa Kekaisaran Romawi kehidupan kota ditopang oleh peerluasan perdagangan dan industri, namun sejak kekaisaran itu terjadi disintegrasi sampai pada dihancurkannya oleh perang-perang saudara dan dibarengi oleh invasi suku Jerman,maka hasil pertanian mulai dirasa ikut mendukung kebutuhan kota.
Pada masyarakat foedal sebagian masyarakat Eropa hidup di wilayah pedesaan.Pada masa Kekaisaran Charlemagne (768-814),misalnya : Petani di wilayah Franka diperkirakan berjumlah 90 % dari seluruh jumlah penduduk yang ada.Ksatria tau bangsawan sebagai komponen lain dalam strata masyarakat Franka hanya sekitar 5 % ,sisanya adalah para biarawan dan pejabat gereja.Sehingga pertanian merupakan pilar kehidupan masyarakat Abad Pertengahan dan petani sebagi tulang punggung ekonomi masyarakat foedal.Di wilayah Eropa Barat dikenal adanya dua jenis pemukiman: warga pedusunan dan warga desa.Pada umumnya,dusun –dusun kecil didpatkan pada daerah – daerahyang tanahnya tidak subur atau tandus sebagaimana yang terdapat di Skotlandia,Wales,Cornwall,Britania, Normandia Barat dan tanah tinggi Perancis.Sedangkan tanah-tanah yang subur berada di pedalaman yang terdiri banyak desa.
Sistem yang berkembang pada masyarakat foedal pada Abad Pertengahan disebut manor.Manorialisme merupakan masyarakat agraris Eropa.Manor merupakan unit sosial khas dalam kehidupan masyarakat agraris Eropa.Sebagai unit sosial,manor melahirkan sistem pengaturan tanah dengan menempatkan posisi sekelompok kecil lord menguasai dan mengatur kehidupan kaum tani.Di setiap manor didapati sebuah desa beserta rumah – rumahnya yang saling berdekatan,mengesankan bahwa dalam kehidupan manor  menunjukkan nilai –nilai kebersamaan.Pada umumnya ,desa terletak di dekat aliran sungai. Di pusat manorial berdirilah rumah sang lord didekatnya terdapat bengkel pandai besi,kandang teernak dan lumbung pangan.Di setiap manor terdapat gereja desa dengan halamannya biasanya berdampingan dengan rumah rumah sang pendeta.Sedangkan rumah-rumah lainnya dihuni  para petani.Tanah pertanian terletak di luar desa.Luas petak sawah seperti yang terdapat di Inggris misalnya,seluas sekitar 800 m2 (panjang 40 m dan lebar 20,8 m).
Tanah produktif manorial dibagi dalam dua bagian:satu bagian dikerjakan petani untuk kepentingan tuan tanah,bagian lainnya dikerjakan petani untuk kepentingan petani sendiri.Petani memiliki kewajiban untuk memberi upeti kepada tuan tanah dalam bentuk hasil-hasil pertanian, peternakan unggas atau babi.Pungutan-pungutan khusus juga harus dibayarkan petani yaitu dengan membayar pajak tahunan.Jika pajak ini tidak dibayar,semua ternak dan barang milik petani serta hak untuk mewariskannya pada keturunannya akan dicabut.Sistem-sistem lain sangatlah merugikan para petani dan para budak pada masa foedal.Tetapi dibalik itu semua masih memilki segi-segi positifnya.Setiap petani memiliki tanah yang menjadi tanggungan hidup mereka.Kecuali jika terjadi musim paceklik,jarang ada petani yang kelaparan.Sistem manorial relatif mampu menopang penduduk yang besar,yang pada abad pertengahan terus meningkat. 2.5. Foedalisme dan Ksatriaan Foedal.
Pada masa foedalisme Eropa identik dengan kekerasan dan kebrutalan.Sedangkan ciri utama dalam citra masyarakat foedal memiliki tipe ideal kelaki-lakiannya sendiri.Pada awal zaman foedal,ketika hidup masih penuh dengan peperangan dan kekerasan,laki-laki ideal adalah jago kelahi yang hebat,yang berani berani berkelahi hingga titik darah penghabisan,setia dengan sumpahnya, setia kepada tuannya dan sungguh-sungguh melindungi vassal-vassalnya.Untuk itu dibutuhkan latihan keprajuritan.
Seorang bangsawan muda pertama bertugas sebagai semacam pesuruh dalam rumah tangga seorang tuan foedal,lalu meningkat menjadi pengawal yang mengawal tuannya serta merawat kuda dan pakaiannya.Baru pada tahap selanjutnya ia diangkat menjadi seorang ksatira.Untuk diangkat menjadi ksatria ia harus memperlihatkan kecakapannya dalam menggunakan senjata dan menang berkelahi.Jika ia lulus dalam ujian-ujian tersebut,ia akan diterima ke dalam jajaran ksatria.
Keberadaan ksatria dalam masa foedal mutlak dibutuhkan,ksatria merupakan tulang punngung kekuatan dan kekuasaan dalam suatu pemerintahn foedal.Ksatria masa foedal merupakan kumpulan para tentara atau militer berkuda.Dalam hubungan foedalisme ini kepala daerah foedal berstatus sebagai vassal,dan raja sebagi yang dipertuan atau lord.Pada zaman foedal terdapat adat kebiasaan yang selalu dilakukan oleh setiap ksatria.Ksatriaan atau dalam kata inggris chivalry berasal dari kata Perancis chevaier  yang berarti ksatria penunggang kuda,yang berakar dari kata bahsa Latin caballus artinya kuda.Peperangan yang sering kali terjadi pada masa foedal amat tergantung pada kuda,sehingga masyarakat foedal disebut chivalry.Saat itu kuda dianggap sebagi binatang aristokratik yang berarti binatang tunggangan kaum aristokrat.Para bangsawan atau ksatria menggunakan kuda untuk berburu,berpacu serta untuk mengikuti berbagi perlombaan.
Dalam masa foedal sosok ksatria berkewajiban mengayomi vassalnya,selalu siap mendampingi lordnya sewaktu-waktu berperang karena itu merupakan tugas.Dalam masa perang,ksatria diharapkan dapat memberikan sumbangan dari hasil rampasan perang,tanah dan juga tawanan perang.Pada masa damai,para ksatria mempunyai kegemaran beburu binatang yang disertai dengan anjing-anjing pemburu binatang di hutan-hutan.
3.      Perkembangan Feodalisme di Indonesia; Masa Kerajaan Tradisional dan Pra Kemerdekaan.
Di Indonesia, praktek feodalisme ini dapat ditemukan dalam kehidupan kerajaan-kerajaan.  Awal lahir feodalisme  ± 400 M, lahirnya kerajaan Tarumanegara (Kutai), puncak kejayaannya pada ± 1300 M pada masa kerajaan Majapahit.Para raja, permaisuri, putri, dan pangeran bersikap jumawa, kalangan priyayi bersikap anggun dan congkak terutama pada kalangan rakyat jelata yg dianggap kastanya berada satu level di bawahnya, baik dari segi warna darah (darah mereka biru berkilau, sedang darah rakyat berwarna merah kecoklatan), maupun dari segi status sosial (harta dan lingkungan pergaulan). Sistem sosial saat itu membagi umat manusia dalam dua kelas yaitu kelas raja atau para priyayi (government) dan kelas rakyat jelata (the governed). Pengkotakan ini berlaku selamanya.Jabatan dalam struktur pemerintahan kerajaan hanya dipegang oleh para priyayi. Dalam strata sosial interen kerajaan, priyayi ada yang termasuk pada golongan tinggi dan golongan rendah. Priyayi tinggi terutama mereka yang menjabat pemerintahan pada struktur jabatan tinggi misalnya bupati, sedangkan priyayi rendah adalah mereka yang menduduki jabatan pemerintahan pada strata yang rendah misalnya wedana.
Kalangan priyayi akan seterusnya secara turun temurun menjadi pemerintah; sementara kalangan rakyat akan selamanya menjadi abdi, punakawan yang diharuskan untuk selalu tunduk dan sembah sungkem pada kalangan pamong praja. Negara, dalam sistem ini, adalah milik kalangan ningrat yang berdarah biru; dan adalah kewajiban rakyat berdarah merah coklat tua itu untuk tunduk dan selalu bertekuk lutut di depan kaki para ningrat.
Hubungan seperti ini dalam pandangan masyarakat Jawa di masa lalu adalah hubungan gustikawula. Raja adalah gusti dan rakyat adalah kawula. Hubungan patrimonial ini membuat rakyat harus selalu tunduk dan patuh terhadap apa yang diperintahkan oleh penguasa. Sebaliknya, penguasa memiliki kewajiban untuk melindungi rakyat. Walaupun dalam prakteknya, rakyat lebih banyak harus melakukan kewajibannya kepada penguasa. Feodalisme di masa kerajaan-kerajaan tradisional Indonesia ini mirip yang terjadi dengan feodalisme yang terjadi di Barat abad pertengahan.
Dalam melaksanakan pemerintahan dan melanggengkan kekuasaannya di Indonesia, Pemerintah Kolonial Belanda menerapkan sistem pemerintahan tidak langsung yang memanfaatkan sistem feodalisme yang sudah berkembang di Indonesia. Ciri khas feodalisme adalah ketaatan mutlak dari lapisan paling bawah terhadap atasannya. Hubungan antara para kolonialis dengan para feodal adalah hubungan yang saling memanfaatkan dan saling menguntungkan, sedangkan rakyatlah yang menjadi objek penindasan dan penghisapan dari kedua belah pihak.
Kepemilikan perseorangan atas tanah dan budak pada akhirnya mencapai puncaknya dan memunculkan pertentangan pokok antar si budak dengan para tuan budak di mana-mana. Hal ini direspon oleh para tuan budak dengan membebaskan secara relatif budak dan memperlonggar beban kerja serta memperbaiki kualitas hidup (makanan dan pakaian). Diikuti oleh upaya tuan budak untuk memperkuat diri dengan membangun suprastruktur kekuasaan lokal dengan mengangkat diri sebagai raja atas sebuah wilayah, mempekerjakan budak-budak yang memiliki kebebasan secara relatif di atas tanah dan juga membangun kekuatan militer atau prajurit, yang dipimpin oleh para tukang pukul dan anak-anak tuan budak. Inilah yang menjadi awal mula munculnya kerajaan-kerajaan lokal dan kecil-kecil di Indonesia. Hal ini menandai lahirnya era setengah perbudakan dan perkembangan feodalisme.
Ini berarti pula beberapa pikiran dan kajian sejarah selama ini yang selalu melihat zaman kemunculan kerajaan di Indonesia hanya sebagai era feodalisme adalah tidak tepat. Memang benar ketika dikatakan bahwa kekuasaan pada waktu itu mengambil bentuk feodal yaitu kerajaan, akan tetapi hakekat hubungan produksi dan tenaga-tenaga produktif yang ada jelas lebih tepat bila dikatakan sebagai setengah perbudakan. Pembuatan candi-candi yang mempekerjakan rakyat tanpa dibayar, perang dan penaklukan dengan merekrut prajurit dari kalangan kaum tani tanpa dibayar, semua tanah dan hasilnya adalah untuk keperluan dan milik Raja, raja yang menentukan apakah seseorang itu adalah orang bebas atau tidak, merupakan beberapa bukti yang menguatkan karakter masyarakat setengah perbudakan.
Masa berkuasanya kerajaan Majapahit adalah babak paling akhir dari masa setengah perbudakan untuk bisa hidup dan mempertahankan syarat-syarat penindasannya. Sehingga kehancuran Majapahit juga bisa dikatakan sebagai kehancuran dari suprastruktur setengah perbudakan. Cikal – bakal feodalisme telah tumbuh pada masa setengah perbudakan yang semakin menonjol dengan berdirinya kekuasaan para raja yang sebelumnya adalah tuan budak dan pada hakekatnya adalah kekuasaan para tuan tanah. Perubahan ini sebagai akibat perkembangan kekuatan produktif dalam hal ini para budak yang tidak lagi sesuai dengan hubungan produksi perbudakan yang menindas mereka. Kelas – kelassosial dalam masyarakat setengah perbudakan sengaja disamarkan dalam ajaran agama Hindu dengan ajarannya tentang Kasta. Ajaran Hindu tentang kasta sosial tersebut kemudian dilawan oleh Islam yang mulai hadir di Indonesia pada Abad 14 Masehi. Akan tetapi Islam tidak melawan perkembangan feodalisme yang mencirikan penguasaan tanah luas oleh para bangsawan dan tokoh-tokoh agama. Islam hanya melawan sistem setengah perbudakan yang masih ada dan di sisi yang lain semakin memberikan kekuatan bagi tumbuh dan berkembangnya feodalisme. Yang perlu dicatat bahwa pada saat itu feodalisme sebagai corak produksi belumlah sempurna, karena kekuasaan ekonomi maupun politik feodalisme tidak terkonsolidir dan terpusat. Tidak ada kota yang sungguh-sungguh menjadi pusat desa, dan tak ada pusat kekuasaan yang betul-betul tersentral. Mereka masih terdiri dari tuan tanah – tuan tanah lokal (raja – raja lokal) yang melakukan monopoli atas tanah dan segala kekayaan alam lainnya. Konsolidasi dan pematangan feodalisme di Indonesia dilakukan di kemudian hari oleh kolonialisme.
Raja dianggap sebagai pusat dari segala kekuasaan dan alam semesta, serta pemilik jagad raya. Paham ini menempatkan raja sebagai pemilik tanah kerajaan dengan kekuasaan mutlak. Dalam situasi demikian itu, maka kawula hanya mengenal hak pakai atas tanah dengan sistem hanggadhuh. Terhadap kaum keluarga dan kerabat kerja serta para pegawai kerajaan diberlakukan sistem tanah pinjam berupa tanah apanase untuk kaum keluarga dan kaum kerabat raja (Sentra dalem), dan lungguh atau bengkok untuk para pegawai kerajaan (Abdi Dalem). Disamping itu dalam hal-hal khusus, raja menghadiahi tanah kepada sekelompok warga masyarakat tertentu dengan tugas-tugas tertentu. Dari kejadian ini lahirlah tanah-tanah perdika mutihan dan sebagainya
Kedudukan pemimpin dalam masyarakat Jawa identik dengan kaum priyayi dan Bangsawan dan sangat dipandang tinggi dan mulia. Yang namanya trah bangsawan maupun priyayi memiliki citra khusus dan istimewa, selain ”berdarah biru” mereka dianggap mumpuni dan waskita dalam pergaulan masyarakat kebanyakan. Dan ketika orang-orang  berkedudukan lebih rendah tidak berhak menilai norma moral orang – orang  yang berkedudukan lebih rendah tidak berhak menilai norma moral orang-orang yang berkedudukan tinggi, apalagi mengkritik atau meminta pertanggung jawaban mereka, maka atasan dengan sendirinya dianggap benar, tidak pernah salah dan dengan demikian menjadi standar moral  yang akan ditiru oleh bawahannya.
Struktur feodalisme dalam pandangan masa kini bisa di katakan tidak ada ketidakadilan dan memang itulah yang ada dalam sistem feodalisme. Yang paling berkuasalah yang mengatur segalanya dari segi politik, dia yang mempunyai lahan yang luas dan mempunyai harta kekayaan dialah yang berkuasa(bangsawan), tetapi ada juga yang secara turun – temurun berkuasa karena atas dasar  banyak pengikutnya dan dipercaya oleh para  pengikutnya (Raja). Sedangkan para abdi dalem itu hanya orang-orang yang setia pada raja atas dasar loyalitas dan sudah melayani dan berbakti pada raja dengan jangka watu yang tidak lama, serta para keluarga raja. Dan para petani dan wong cilik hanya sebagai bagian dari stratifikasi sosial yang sebenarnya sangat berperan penting dalam struktur feodal, seperti rakyat. Dalam era yang sekarang pun unsur rakyat sangat penting dalam sebuah negara tanpa adanya rakyat maka tidak bisa disebut negara, begitu pula dengan struktur feodalisme semakin sedikit rakyat maka kerajaannya pun semakin lemah. Karena pada masa feodalisme ini sektor pertanian sangatlah penting dan pertanian tidak akan berjalan tanpa adanya petani yang banyak pula mengingat semakin besar hasil produksinya maka kerajaan itu akan semakin maju.
Statifikasi sosial feodal masyarakat Jawa terdiri dari :
a)      Raja mempunyai kekuasaan yang absolut atas atas hidup dan hak milik hamba kawulanya dari yang tertinggi hingga yang terendah,
b)      Bangsawan, baik yang berasal dari keluarga raja maupun priyayi atau abdi dalam atau pegaawai kerajaan di atas kepala desa serta orang – orang yang tidak biasa ( cedikiawan, sastrawan / pujangga),
c)      Petani – wong cilik (orang kecil).
Paham kekuasaan Jawa yang dilandasi dengan despotisme membawa akibat raja harus mempertahankan monopoli kekuasaan mutlak . Oleh karena itu di Jawa tidak mungkin ada bangsawan – bangsawan daerah sejati yang memiliki otonomi luas. Karena juga terikat dengan doktrin despotis. Raja adalah turunan dewa yang menguasai segala tanah dan seisinya serta yang hidup di atasnya.
Besarnya kekuasaan raja dalam mengatur dan menentukan seseorang dalam tangga sosial masyarakatnya sehingga Raja berperan dalam mengangkat seseorang dari kalangan bawah menjadi seorang bupati atau patih melalui pangestukaum priyayi, baik terhadap raja maupun terhadap kawula. Mereka nunut kamukten ( numpang kemuliaan) raja dengan cara melanggengkan simbol kekuasaan. Meninggikan raja dalam banyak upacara, samadengan menegaskan kepriyayian mereka. Kesetiaan priyayi pada raja adalah karena perkenalan mereka sejak dini dengan kekuasaan melalui simbol- simbol bersamaan dengan sosialisasi. Stratifikasi priyayi yang ditunjukan dalam simbol baik jumlah sembah, pakaian, bahasa dan tempat duduk waktu mengahdap raja, semuanya memperkuat struktur tersebut. Menjadi abdi dalem bagi priyayi adalah cita – cita mereka sejak kecil.
Pemimpin, orang –orang tinggi dan para orang tua dalam pandangan orang Jawa harus dilayani dan dihormati secara luas. Orang – orang bawahan merasa dihormati kalau boleh menghaturkan hadiah kecil kepada atasan , sebaliknya menjadi atasan membawa kewajiban untuk melindungi para bawahan dan mereka yang kedudukannya lembih rendah. Bawahan mengharapkan dari atasan perlindungan dan pedoman moral, sedangkan atasan boleh memperhitungkan pelayanan dan loyalitas dari para bawahan. Bawahan dan orang – orang rendahan tidak berhak untuk mengukur atasan atau orang – orang yang berkedudukan lebih tinggi norma moral, untuk mengkritik atau meminta pertanggungjawaban mereka , melainkan justru sebaliknya, kelakuan atasan dengan sendirinya dianggap benar dan dengan demikian menjadi standar moral yang akan ditiru oleh bawahannya (Suseno,1996). Koentjaraningrat ( 1969) menilai kenyataan tersebut secara negatif.
Pengaruh pada VOC dan Hindia Belanda :
Pada masa Van den bosch tahun 1830, pemerintah Belanda membangun sebuah sistem ekonomi-politik yang menjadi dasar pola kapitalisme negara di Indonesia.  Sistem ini bernama tanam paksa. Ini diberlakukan karena VOC mengalami kebangkrutan.Tanam Paksa merupakan tonggak peralihan dari sistem ekonomi perdagangan (merkantilis) ke sistem ekonomi produksi. Ciri-ciri tanam paksa ini berupa:
1.      Kaum tani diwajibkan menanam tanaman yang laku dipasaran Eropa, yaitu tebu, kopi, teh, nila, kapas, rosela dan tembakau; kaum tani wajib menyerahkan hasilnya kepada pemerintah kolonial dengan harga yang telah ditentukan oleh pemerintah Belanda;
2.      Perubahan (baca: penghancuran) sistim pengairan sawah dan palawija;
3.      Mobilisasi kuda, kerbau dan sapi untuk pembajakan dan pengang kutan;
4.      Optimalisasi pelabuhan, termasuk pelabuhan alam;
5.      Pendirian pabrik-pabrik di lingkungan pedesaan, pabrik gula dan karung goni;
6.      Kerja paksa atau rodi atau corvee labour untuk pemerintah;
7.      Pembebanan berbagai macam pajak.
Sistem ini juga merupakan titik awal berkembangnya kapitalisme perkebunan di Indonesia.Tapi, dalam pelaksanaan sistem ini pelaksanaannya tidak luput dari tatanan yang feodal, dengan menggunakan bantuan orang – oranglokal, di mana desa menjadi mata rantai antara petani dan pejabat di nusantara atau biasanya disebut regent oleh Belandadan regent ini bertanggung jawab kepada pemerintah setempat. Sehingga secara langsung VOC dan Hindia Belanda menggunakan para penguasa daerah sebagai alat untuk melakukan tanam paksa ini, karena tatanan liberalisme tidak mungkin diterapkan di Nusantara yang tidak selan dengan kultur masyarakat Nusantara.
Karena paham konservatif ini secara langsung akan membentuk hubungan langsung antara pemerintah dan desa dengan melalui perantara seorang bupati, Bupati berperan sebagai pengawas dan menjamin produksi atau disebut mandor, sedang kepala desa bertanggung jawab memenuhi target produksi. Dan setiap bupati dan Kepala desa di bayar berdasarkan jumlah produksi dan kualitas produksi tersebut ( cultuurprocenten)
Itulah beberapa alasan mengapan peranan feodal spenting bagi VOC dan Hindia – Belandakarena struktur masyarakat Nusantara yang tradisinal masih kuat menganut feodal jadi mau tidak mau VOC maupun Hindia Belanda harus mempunyai strategi untuk menyiasati hal tersebut, karena dari beberapa sistem yang dilaksanakan di Nusantara mengalami kegagalan, di antaranya monopoli, pajak dan lain lain. Dan untuk itu maka diadakan penyelesaian memalui percampuran antara kolonialisasi dan feodal,
4.      Pendapat Tidak Setuju akan Feodalisme.
Dalam sejarah feodalisme, sekelompok orang yang disebut bangsawan yang menguasai suatu wilayah, memiliki hak kuasa atas tanah, hasil produksi dan hak atas setiap individu dalam wilayah tersebut. Hak-hak yang dimiliki pun terkesan tak terbatas, kaum bangsawan dapat mengambil keputusan yang merugikan masyarakat dan tidak dapat diganggu gugat oleh masyarakat tersebut karena kaum feodal memegang kuasa atas apapun yang berada di wilayahnya. Dengan kata lain, dalam sistem feodalisme, kedaulatan rakyat berada di tangan satu orang atau sekelompok orang yang mengambil hak kemerdekaan individual masyarakat dalam suatu komunitas dan ini bertentangan dengan demokrasi.
Sebagaimana sejarah telah menceritakan tentang kehidupan feodalisme dari masa ke masa, maka ada beberapa dampak negatif yang perlu diperhatikan akibat dari pelaksanaan system ini dalam masyarakat.
Pertama, dari segi politik, muncul kekuasaan yang terpusat hanya pada sekelompok orang tertentu yang memiliki pangkat dan jabatan (baca: bangsawan atau priyayi). Semua urusan pemerintahan dipegang dan dikuasai kelompok ini, rakyat tidak berhak ikut campur dalam keputusan mereka tetapi harus selalu patuh akan perintah dan kebijakan mereka. Maka sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, hubungan yang muncul adalah gusti-kawula (baca: hubungan patrimonial). Prinsip egalitarianism dalam hal ini menjadi tidak berlaku sehingga rakyat pun kehilangan harkat dan martabatnya yang seharusnya dimiliki oleh setiap manusia (baca: fitrah manusia).
Kedua, dari segi budaya, tertanamnya asas “setia dan tunduk” dalam diri rakyat kepada penguasa. Maka kemudian rakyat akan berpikir mereka hanya perlu tunduk dan melaksanakan perintah tanpa berinisiatif untuk mengembangkan kreativitas dirinya sendiri. Daya saing antar rakyat menjadi terbatasi oleh rasa segan dan takut kepada penguasa atau atasan. Rakyat menjadi pasrah dan tidak suka bekerja keras, karena mereka menganggap dengan menurut kepada atasan, mereka akan mendapatkan apa yang diinginkan. Maka kemudian, mental penjilat menjadi tumbuh subur dalam budaya feodalisme dimana mental dan tekad untuk maju begitu sulit diwujudkan karena hanya berharap pada atasan.



DAFTAR PUSTAKA
Anjar Lelono Broto, Membedah Feodalisme, dalamhttp://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=28&jd=Membedah+Feodalisme&dn=20091215101431 yang diakses tanggal 22 September 2014.
Jabal Ali Husin Sab, Ancaman Neo Feodalisme, dalam http://politik.kompasiana.com/2011/10/17/ancaman-neo-feodalisme/ yang diakses tanggal 22 September 2014.
http://www.bimbingan.org/tag/dampak-negatif-feodalismeyang diakses tanggal 22 September 2014.





0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda