Feodalisme
FEODALISME
(KONTRA)
(Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah SejarahIntelektual)
Oleh:
RIDHO R PUTRA
(120210302099)
Kelas B
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN
ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
JEMBER
2014
Feodalisme pada umumnya dikenal
sebagai sistem sosial khas Abad Pertengahan (di Eropa maupun di belahan dunia
lain) sebagai pembeda perode tersebut dari modernitas. Istilah tersebut
dimunculkan di Perancis pada abad ke-16.
Istilah
“feudal” (dalam konteks Eropa) berasal dari kata Latin “feudum” yang
sama artinya dengan fief, ialah sebidang tanah yang diberikan untuk
sementara kepada seorang vassal (penguasa bawahan atau pemimpin militer)
sebagai imbalan atas pelayanan yang diberikan kepada penguasa (lord) sebagai
pemilik tanah tersebut.Dalam hal ini
foedalisme berarti penguasaan hal –hal yang berkaitan dengan masalah
kepemilikan tanah ,khususnya yang terjadi di Eropa Abad Pertengahan.
Foedalisme
diartiakan dan difahami sebagai suatu sistem yang ada di Eropa terjadi pada
sekitar abad IX-XII,merupakan dasar pemerintahan lokal,pembuatan
undang-undang,menyusun dan mengatur angkatan perang,dan berbagai seluk beluk
yang berhubungan dengan kekuasaan eksekutif.Dalam doktrin foedal dikatakan bahwa
seluruh tanah kerajaan beserta isinya itu berasal dari raja.Raja sebagai
pemilik tanah-tanah luas terbentang di wilayah kerajaannya.
Dalam pengertian yang lain
dijelaskan bahwa feodalisme adalah sebuah sistem pemerintahan dimana seorang
pemimpin, yang biasanya seorang bangsawan, memiliki anak buah banyak yang juga
masih dari kalangan bangsawan juga tetapi lebih rendah dan biasa disebut vasal.
Para vasal ini wajib membayar upeti kepada tuan mereka. Sedangkan para vasal
pada gilirannya ini juga mempunyai anak buah dan abdi-abdi mereka sendiri yang
memberi mereka upeti. Dengan begitu muncul struktur hierarkis berbentuk
piramida.Masyarakat feodal menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian, karena
itu tanah menjadi faktor produksi utama dan jadilah pemilik tanah sebagai pihak
yang berkuasa dan menempati lapisan atas struktur masyarakat atas dukungan
petani lapisan terbawah. Di lapisan tengah terdapat pegawai kaum feodal dan
pedagang.
Dari berbagai sudut pengertian tentang foedalisme dapat
disimpulkan bahwa yang menjadi inti pembahasan dari feodalisme adalah tanah,
dimana manusia itu hidup. Tanah memegang peranan penting pada zaman feodal,
karena seseorang dikatakan memiliki kekuasaan bila orang tersebut memiliki
modal utama berupa tanah yang kemudian berkembang menjadi wilayah. Sejarah
feodalisme adalah sejarah peradaban manusia itu sendiri, dimana manusia dari
awalnya sudah haus akan kekuasaan dan kedudukan.
2. Perkembangan Sistem Foedal di Eropa.
2.1.
Keruntuhan Abad Kegelapan (Keruntuhan Romawi Barat).
Membahas foedalisme di Eropa yang
berlangsung selama tiga abad yaitu abad IX,X dan XI itu,pada hakekatnya tidak
dapat dilepaskan kaitannya dengan beberapa faktor yang setidaknya berpengaruh
pada tumbuhnya benih – benih foedalisme di Eropa.Periode Abad Pertengahan awal
antara tahun 500-1000 merupakan masa transisi dalam sejarah Eropa yg kacau
sehingga disebut sebagai ‘abad kegelapan’. Periode ini ditandai dengan :
1. Invasi suku-suku barbar, mula-mula
orang-orang Jerman (Goth, Frank, Anglo-Saxon, dll), kemudian disusul bangsa
Skandinavia (Viking) antara tahun 800-1000.
2. Terbentuknya kerajaan-kerajaan
Jerman dan terjadinya perang-perang perebutan wilayah kekuasaan antara
kerajaan-kerajaan tersebut.
3. Kehancuran Romawi Barat menyebabkan
ekonomi bergeser dari kota-kota ke pedesaan. Pergeseran ini mendorong
kemunculan sistem feodal di Eropa.
Disintegrasi Kekaisaran Romawi Barat
setelah sekitar 800 tahun dengan serangkaiaan penaklukan ,ekspansi dan
konsolidasi politik serta aktifitas kultural,kemudia digantikan perannya oleh
Gereja.Jatuhnya Kekaisaran Romawi Barat ,secara politis membawa pengaruh
terjadinya berbagai kerajaan barbar di Eropa.Setiap kerajaan barbar harus
berupaya menata pemerintahan sendiri,karena telah lepas dari pengaturan dan
pengawasan Kekaisaran Romawi.Adapun berbagai negara Jerman yang penting,yang
didirikan di atas reruntuhan Kerajaan Romawi Barat adalah:
1. Kerajaan Goth Timur,wilayahnya
meliputi Italia, Slav dan Burgundia (Swiss),
2. Kerajaan Goth Barat,meliputi
Spanyol,Kerajaan Vandal di Afrika Utara,Kerajaan Franka di
Perancis,Belgia,Belanda,dan Jerman Barat.Sementara itu,sumbangan bangsa
Aglo-Saxons yang terhalau dari Jerman menyerbu ke tanah Inggris,kemudian
mendesak bangsa-bangsa Kelt yang datang lebih dulu ke kepulauan itu.
Akibat runtuhnya Romawi Barat,telah
menyebabkan wajah Eropa menjadi masyarakat Agraris dengan rumah tangga desa
tertutup.Disitu tidak terdapat lalu lintas uang.Semua wujud kemasyarakatan
didasarkan atas kepemilikan tanah.Hanya pemilik tanah yang memungkinkan adanya
administrasi dan sistem militer negara,keadaan ini menciptakan kebutuhan akan
tanah-tanah luas.Telah terjadi anarkhi selama tiga abad (abad VI,VII,VIII) pada
masa Keruntuhan Romawi,tercipta ketidakstabilan politik, terjadi anarkisme,tidak
ada keamanan perorangan dan hak milik,di situ terjadi pertentangan semua
melawan semua. Kekerasan terjadi dimana-mana, para petani mencari perlindungan
di sekitar benteng yang diperkuat terhadap ancaman penyerbuan gerombolan
bersenjata.Maka,orang-prang merdeka makin lama makin tergantung pada tuan
tanah,bahkan ada yang membayar dengan kemerdekaanya,tuan tanah bertindak
sebagai pelindung kaum tani dan harta kekayaannya digunakan untuk biaya perang
dan untuk memberi bantuan dalam bahaya kelaparan.Sebaliknya,balas jasa
mengerjakan tanah untuk kepentingan tuan tanahnya.Dengan adanya kenyataan
tersebut terjadilah hubungan foedal,para petani bersumpah setia dalam ikatan
foedal untuk memenuhi kebutuhan hidup para tuan tanah yang memberi bantuan dan
perlindungan,keselamatan hidup demi tuan tanah.
2.2.Unsur Kebudayaan yang Membentuk
Foedalisme.
Foedalisme mulai tumbuh pada percampuran
kebudayaan Roma dan Jerman.Tentu saja percampuran kedua kebudayaan ini kemudian
menimbulkan sebuah sistem baru yang disebut foedalisme. Unsur kebudayaan yang
membentuk feodalisme adalah :
1. Budaya militer suku-suku bangsa
Jerman, berupa kebiasaan para pemimpin pasukan untuk membagikan rampasan perang
kepada para prajurit sebagai imbalan atas pelayanan mereka. Pola ini merupakan
dasar hubungan feodal (lord-vassal),
2. Sistem kepemilikan tanah Romawi yg
menjadi semakin penting ketika perdagangan mundur akibat perang. Para petani
miskin yang tidak mampu membayar pajak sering mengalihkan tanahnya kepada
bangsawan atau tuan tanah, yang kemudian meminjamkan tanah itu kepada para
petani miskin untuk dikelola. Pada praktiknya para petani yg terikat pada tanah
yang bukan miliknya ini berkedudukan setengah budak. Orang-orang Jerman lambat
laun mengadopsi kebiasaan ini.
Evolusi
menuju pemerintahan foedal dapat kita telusuri pada Kerajaan Franka.Di pusat
Kerajaan Franka,awal foedalisme mulai tumbuh menuju kedewasaan kokoh.Di tengah
situasi yang kacau,anarkis,merosotnya keadaan ekonomi di Eropa akibat runtuhnya
perdagangan dan juga runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat,makin banyak orang bebas
mencari perlindungan kepada kaum elit militer pemegang kuasa di pedalaman.Masyarakat
pedalaman terdiri dari petani kecil,prajurit tak bertuan dan pengungsi dari
kota yang terbengkalai itu mengikat diri menjadi penyewa tanah dan prajurit
keluarga tuan tanah yang semakin besar.
Kerajaan
Franka yang dibangun oleh dinasti Meroving lambat laun menghadapi dilema
politik.Hal ini karena penyerbuan dari dari suku-suku barbar.Sehingga mereka
tidak ada cara lain yang dapat dilakukan kecuali menghadiahkan kedudukan
pemerintahan kepada ksatia dan uskup baik dari golongan sekuler maupun kegerejaan.Hadiah
itu berupa tanah perdikan yang dihibahkan seumur hidup kepada para uskup
tersebut dengan persyaratan tetap setia pada mereka.Pada perkembangnya,para
uskup tersebut mengingkari perjanjian untuk tetap setia kepada Dinasti
Meroving.Dari hal ini seyogyanya tanah yang dihibahkan tersebut bersifat
sementara,tetapi ternyata beerubah menjadi hak kepemilikan tetap dan
diwariskan.Tentu saja hal ini berpengaruh pada kurangnya kewibawaan Dinasti
tersebut dan berakibat digantikannya oleh kekuasaan Dinasti Karoling.
Ketika
Dinasti Karoling berkuasa,terjadi perubahan luar biasa yang digagas oleh
Charmelagne sebagai penguasa terkenal pada masa itu.Tradisi tanah dan
kepenguasaan yang semula telah merosot dicoba untuk ditata.Berkat keberhasilan
dalam menghimpun pasukan-pasukan kavaleri yang mulai dirintis oleh penguasa
pendahulunya,berusaha untuk memperluas wilayah kekuasaannya.Sepeninggal
Charmelagne,tanda-tanda kelahiran foedalisme mulai menunjukkan bentuknya.Hal
ini sekali lagi dipengaruhi oleh serbuan orang-orang barbar dari Skandinavia
yang merupakan jelmaan dari suku Viking yang terkenal kejam dan buas,penguasa
Franka harus membangun pertahanan baru yang kuat yang berupa tembok – tembok
tebal dan puri berbenteng.Pertahan yang berupa benteng yang kokoh itu mendorong
para buruh tani mulai memadati daerah daerah sekitar yang berada dalam naungan
perlindungannya.
2.3. Sistem Sosial Masyarakat Foedal.
Sistem sosial yang berkembang pada
masyarakat foedal Eropa umumnya terbentuk dengan sistem manor.Manor meliputi
sebidang tanah yang luas milik seorang bangsawan atau gereja. Manor merupakan
suatu kesatuan sosial dan politik, dimana pemilik manor bukan hanya menjadi
tuan tanah, tapi juga sebagai penguasa, pelindung, hakim dan kepala kepolisian.
Walaupun bangsawan ini termasuk dalam suatu hirarki yang besar, dimana dia
menjadi hamba dari bangsawan yang lebih tinggi, tapi dalam batas-batas manornya
dia merupakan tuan tanah. Dia adalah pemilik dan penguasa yang tak diragukan
lagi oleh orang-orang dan budak-budak yang hidup di manornya. Orang yang hidup
diatas tanahnya dianggap oleh tuan tanah sebagai miliknya sebagaimana halnya
rumah, tanah dan tanaman. Di sekeliling rumah bangsawan terdapat ladang rakyat
yang telah dibagi-bagikan luasnya (satu) 1 atau 1 ½ hektar. ½ atau lebih dari hasil ladang ini
menjadi milik tuan tanah, sedangkan sisanya untuk orang yang menggarapnya yang
terdiri dari orang merdeka dan budak belian. Disini terjadi ketimpangan antara
budak belian dan tuan tanah.
Orang merdeka atau dalam kalangan
apapun seseorang dilahirkan, orang yang merdeka yang memiliki sendiri tanahnya
tak dapat menjualnya pada tuan tanah yang lain. Pemilikannya sebenarnya berarti
bahwa dia tidak dapat diusir dari tanahnya, kecuali dalam keadaan darurat.
Orang yang lebih rendah dari budak tidak mempunyai hak ini. Seorang budak
belian terikat pada tanah yang dikerjakannya, tanpa ijin dan keterangan yang
kuat, dia tidak akan diijinkan untuk meninggalkan baik masih dalam batas-batas
manor tuannya maupun pada manor bangsawan lainnya. Berdasarkan statusnya timbul
serentetan kewajiban-kewajiban yang menjadi dasar dari organisasi ekonomi
manor. Kewajiban-kewajiban ini dapat berupa keharusan bekerja untuk tuan tanah
dan lain sebgainya. Kewajiban ini berbeda-beda antara manor yang satu dengan
manor lainnya, pada tempat-tempat tertentu mereka harus bekerja lima hari dalam
seminggu untuk tuan tanahnya, sehingga tanahnya sendiri dikerjakan oleh
keluarganya (anak dan istrinya). Dan akhirnya budak belian juga harus membayar
beberapa macam pajak, seperti pajak kepala, pungutan kematian, pajak kawin atau
iuran untuk pemakaian pabrik atau tungku. Jika budak belian memberikan
tenaganya untuk tuan tanah, maka sebagai imbalannya si tuan tanah memberikan
sesuatu yang tidak dapat diusahakan sendiri oleh sang budak. Yang utama yaitu
menjamin keamanan fisik.
Petani merupakan sasaran utama para
perampok atau musuh, mereka tidak berdaya kalau ditangkapi dan tidak mampu
melindungi miliknya terhadap perampokan. Dari hal itu mereka butuh perlindungan
dan tidak heran meskipun budak merdeka memberikan pengabdiannya pada tuan
tanah. Dan sebagai imbalan pengabdian mereka dalam hal politik, ekonomi dan
social ini, mereka mendapat perlindungan dari tuan tanah. Disamping itu tuan
tanah juga memberikan suatu bentuk keamanan ekonomi. Pada saat-saat bahaya
kelaparana melanda, tuan tanahlah yang memberi makan mereka dari simpanan di
gudangnya. Walaupun meraka harus membayarnya, budak belian itu dibolehkan
memakai peralatan dan ternak tuan tanah untuk mengerjakan tanahnya ataupun
tanah tuannya. Pada saat-saat budak belian tidak punya alat-alat produksi, maka
mereka akan diberi alat-alat tersebut dengan Cuma-Cuma kepada sang Budak.
Beberapa hal yang perlu diketahu dalam perekonomian lingkungan manor yakni, yang pertama masyarakat diatur dan disusun menurut tradisi, karena tidak adanya pemerintah pusat yagn kuat, maka palaksanaan intruksi dari ataspun sangat lemah. Akibatnya laju perubahan dan perkembangan ekonomi masyarakat ini menjadi dangat lambat selama abad pertengahan. Yang kedua, peredaran uang sedikit sekali, karena manor hanya mencukupi kebutuhannya sendiri tidak menjual hasil produksinya ke kota-kota, maksimal hanya kebutuhan kota kecil setempat. Tidak ada manor yang memenuhi kebutuhannya sedemikian rupa sehingga hubungan dengan dunia luar tidak terjalin sama sekali, bahkan beberapa budak membeli kebutuhan karena banyak barang-barang yang tidak mampu dihasilaknnya sendiri. Hal diatas menyebabkan sedikit sekali peredaran uang yang terjadi.
Beberapa hal yang perlu diketahu dalam perekonomian lingkungan manor yakni, yang pertama masyarakat diatur dan disusun menurut tradisi, karena tidak adanya pemerintah pusat yagn kuat, maka palaksanaan intruksi dari ataspun sangat lemah. Akibatnya laju perubahan dan perkembangan ekonomi masyarakat ini menjadi dangat lambat selama abad pertengahan. Yang kedua, peredaran uang sedikit sekali, karena manor hanya mencukupi kebutuhannya sendiri tidak menjual hasil produksinya ke kota-kota, maksimal hanya kebutuhan kota kecil setempat. Tidak ada manor yang memenuhi kebutuhannya sedemikian rupa sehingga hubungan dengan dunia luar tidak terjalin sama sekali, bahkan beberapa budak membeli kebutuhan karena banyak barang-barang yang tidak mampu dihasilaknnya sendiri. Hal diatas menyebabkan sedikit sekali peredaran uang yang terjadi.
Penggarap tanah membayar
kewajibannya kepada tuan tanah dalam berbagai bentuk, setiap budak harus
bekerja beberapa hari tertentu dan memberikan barang-barang tertentu seperti
telor, ayam, itik, babi dan lain sebagainya. Memang benar untuk barang-barang
yang diberikannya mereka dibayar ala kadarnya tapi kalau dibandingkan denga
keseluruhannya jumlahnya tidak berarti, sehingga dapat disimpulkan bahwa
seluruh perekonomian manor merupakan suatu perekomian alami, karena
perekonomian ini tidak tergantung pada perdagangan yang memerlukan peredaran
uang.
Dari uraian diatas kita dapat
memahami secara umum sistem feodal yang terjadi pada abad pertengahan, yang
mana suatu sistem dalam masyarakat saat itu terdapat dua kelas sosial yaitu
kelas penguasa tuan tanah dan kelas pekerja yakni para budak belian. Tulisa ini
menjadi gambaran yang menarik tentang kehidupan di zaman Feodal, hubungan
dianatara tuan tanah dengan hambanya sering bersifat eksploitasi yang ekstrim.
Tapi pada dasarnya masih terlihat suatu hubungan yang saling menguntungkan,
masing-masing pihak memberikan imbalan-imbalan yang sangat penting untuk
mempertahankan kehidupan dalam keadaan dimana organisasi dan stabilitas politik
sudah tidak terorganisir lagi.
Ada setidaknya empat komponen utama
yang membentuk sistem feodal yaitu :
1. Lord adalah pemilik tanah, biasanya
seorang bangsawan dari keluarga raja atau kalangan agamawan (uskup, biarawan),
2. Vassal atau Knights adalah adalah
kaum bangsawan yang memberikan jasa (umumnya dalam bentuk dukungan militer)
kepada Lord dengan imbalan berupa tanah yang disewakan,
3. Fief adalah tanah yang disewakan
berupa lahan-lahan pertanian,
4. Serf atau penggarap tanah ialah
petani yang mengerjakan lahan pertanian dengan status setengah budak.
2.4. Peranan Petani Pada Era Foedalisme
Eropa.
Petani Eropa sebenarnya merupakan
kelompok sosial terbesar dalam masyarakat Abad Pertengahan.Pada awal abad itu
keseluruhan petani yang berdiam di wilayah pedesaan hidup dari hasil
pertanian.Ketika awal masa Kekaisaran Romawi kehidupan kota ditopang oleh
peerluasan perdagangan dan industri, namun sejak kekaisaran itu terjadi
disintegrasi sampai pada dihancurkannya oleh perang-perang saudara dan
dibarengi oleh invasi suku Jerman,maka hasil pertanian mulai dirasa ikut
mendukung kebutuhan kota.
Pada masyarakat foedal sebagian
masyarakat Eropa hidup di wilayah pedesaan.Pada masa Kekaisaran Charlemagne
(768-814),misalnya : Petani di wilayah Franka diperkirakan berjumlah 90 % dari
seluruh jumlah penduduk yang ada.Ksatria tau bangsawan sebagai komponen lain
dalam strata masyarakat Franka hanya sekitar 5 % ,sisanya adalah para biarawan
dan pejabat gereja.Sehingga pertanian merupakan pilar kehidupan masyarakat Abad
Pertengahan dan petani sebagi tulang punggung ekonomi masyarakat foedal.Di
wilayah Eropa Barat dikenal adanya dua jenis pemukiman: warga pedusunan dan warga
desa.Pada umumnya,dusun –dusun kecil didpatkan pada daerah – daerahyang
tanahnya tidak subur atau tandus sebagaimana yang terdapat di
Skotlandia,Wales,Cornwall,Britania, Normandia Barat dan tanah tinggi
Perancis.Sedangkan tanah-tanah yang subur berada di pedalaman yang terdiri
banyak desa.
Sistem yang berkembang pada
masyarakat foedal pada Abad Pertengahan disebut manor.Manorialisme merupakan
masyarakat agraris Eropa.Manor merupakan unit sosial khas dalam kehidupan
masyarakat agraris Eropa.Sebagai unit sosial,manor melahirkan sistem pengaturan
tanah dengan menempatkan posisi sekelompok kecil lord menguasai dan mengatur
kehidupan kaum tani.Di setiap manor didapati sebuah desa beserta rumah – rumahnya
yang saling berdekatan,mengesankan bahwa dalam kehidupan manor menunjukkan nilai –nilai kebersamaan.Pada
umumnya ,desa terletak di dekat aliran sungai. Di pusat manorial berdirilah
rumah sang lord didekatnya terdapat bengkel pandai besi,kandang teernak dan
lumbung pangan.Di setiap manor terdapat gereja desa dengan halamannya biasanya
berdampingan dengan rumah rumah sang pendeta.Sedangkan rumah-rumah lainnya
dihuni para petani.Tanah pertanian
terletak di luar desa.Luas petak sawah seperti yang terdapat di Inggris misalnya,seluas
sekitar 800 m2 (panjang 40 m dan lebar 20,8 m).
Tanah produktif manorial dibagi
dalam dua bagian:satu bagian dikerjakan petani untuk kepentingan tuan
tanah,bagian lainnya dikerjakan petani untuk kepentingan petani sendiri.Petani
memiliki kewajiban untuk memberi upeti kepada tuan tanah dalam bentuk
hasil-hasil pertanian, peternakan unggas atau babi.Pungutan-pungutan khusus
juga harus dibayarkan petani yaitu dengan membayar pajak tahunan.Jika pajak ini
tidak dibayar,semua ternak dan barang milik petani serta hak untuk mewariskannya
pada keturunannya akan dicabut.Sistem-sistem lain sangatlah merugikan para
petani dan para budak pada masa foedal.Tetapi dibalik itu semua masih memilki
segi-segi positifnya.Setiap petani memiliki tanah yang menjadi tanggungan hidup
mereka.Kecuali jika terjadi musim paceklik,jarang ada petani yang
kelaparan.Sistem manorial relatif mampu menopang penduduk yang besar,yang pada
abad pertengahan terus meningkat. 2.5. Foedalisme dan Ksatriaan Foedal.
Pada
masa foedalisme Eropa identik dengan kekerasan dan kebrutalan.Sedangkan ciri
utama dalam citra masyarakat foedal memiliki tipe ideal kelaki-lakiannya
sendiri.Pada awal zaman foedal,ketika hidup masih penuh dengan peperangan dan
kekerasan,laki-laki ideal adalah jago kelahi yang hebat,yang berani berani berkelahi
hingga titik darah penghabisan,setia dengan sumpahnya, setia kepada tuannya dan
sungguh-sungguh melindungi vassal-vassalnya.Untuk itu dibutuhkan latihan
keprajuritan.
Seorang
bangsawan muda pertama bertugas sebagai semacam pesuruh dalam rumah tangga
seorang tuan foedal,lalu meningkat menjadi pengawal yang mengawal tuannya serta
merawat kuda dan pakaiannya.Baru pada tahap selanjutnya ia diangkat menjadi
seorang ksatira.Untuk diangkat menjadi ksatria ia harus memperlihatkan
kecakapannya dalam menggunakan senjata dan menang berkelahi.Jika ia lulus dalam
ujian-ujian tersebut,ia akan diterima ke dalam jajaran ksatria.
Keberadaan
ksatria dalam masa foedal mutlak dibutuhkan,ksatria merupakan tulang punngung
kekuatan dan kekuasaan dalam suatu pemerintahn foedal.Ksatria masa foedal
merupakan kumpulan para tentara atau militer berkuda.Dalam hubungan foedalisme
ini kepala daerah foedal berstatus sebagai vassal,dan raja sebagi yang
dipertuan atau lord.Pada zaman foedal terdapat adat kebiasaan yang selalu dilakukan
oleh setiap ksatria.Ksatriaan atau dalam kata inggris chivalry berasal
dari kata Perancis chevaier yang
berarti ksatria penunggang kuda,yang berakar dari kata bahsa Latin caballus
artinya kuda.Peperangan yang sering kali terjadi pada masa foedal amat tergantung
pada kuda,sehingga masyarakat foedal disebut chivalry.Saat itu kuda
dianggap sebagi binatang aristokratik yang berarti binatang tunggangan kaum
aristokrat.Para bangsawan atau ksatria menggunakan kuda untuk berburu,berpacu
serta untuk mengikuti berbagi perlombaan.
Dalam masa foedal sosok ksatria
berkewajiban mengayomi vassalnya,selalu siap mendampingi lordnya sewaktu-waktu
berperang karena itu merupakan tugas.Dalam masa perang,ksatria diharapkan dapat
memberikan sumbangan dari hasil rampasan perang,tanah dan juga tawanan
perang.Pada masa damai,para ksatria mempunyai kegemaran beburu binatang yang
disertai dengan anjing-anjing pemburu binatang di hutan-hutan.
3.
Perkembangan Feodalisme di Indonesia; Masa Kerajaan
Tradisional dan Pra Kemerdekaan.
Di Indonesia, praktek feodalisme ini
dapat ditemukan dalam kehidupan kerajaan-kerajaan. Awal
lahir feodalisme ± 400 M, lahirnya kerajaan Tarumanegara (Kutai), puncak
kejayaannya pada ± 1300 M pada masa kerajaan Majapahit.Para raja, permaisuri, putri, dan
pangeran bersikap jumawa, kalangan priyayi bersikap anggun dan congkak terutama
pada kalangan rakyat jelata yg dianggap kastanya berada satu level di bawahnya,
baik dari segi warna darah (darah mereka biru berkilau, sedang darah rakyat
berwarna merah kecoklatan), maupun dari segi status sosial (harta dan
lingkungan pergaulan). Sistem sosial saat itu membagi umat manusia dalam dua
kelas yaitu kelas raja atau para priyayi (government) dan kelas rakyat
jelata (the governed). Pengkotakan ini berlaku selamanya.Jabatan dalam
struktur pemerintahan kerajaan hanya dipegang oleh para priyayi. Dalam strata
sosial interen kerajaan, priyayi ada yang termasuk pada golongan tinggi dan
golongan rendah. Priyayi tinggi terutama mereka yang menjabat pemerintahan pada
struktur jabatan tinggi misalnya bupati, sedangkan priyayi rendah adalah mereka
yang menduduki jabatan pemerintahan pada strata yang rendah misalnya wedana.
Kalangan priyayi akan seterusnya
secara turun temurun menjadi pemerintah; sementara kalangan rakyat akan selamanya
menjadi abdi, punakawan yang diharuskan untuk selalu tunduk dan sembah sungkem
pada kalangan pamong praja. Negara, dalam sistem ini, adalah milik kalangan
ningrat yang berdarah biru; dan adalah kewajiban rakyat berdarah merah coklat
tua itu untuk tunduk dan selalu bertekuk lutut di depan kaki para ningrat.
Hubungan seperti ini dalam pandangan
masyarakat Jawa di masa lalu adalah hubungan gusti– kawula. Raja
adalah gusti dan rakyat adalah kawula. Hubungan patrimonial ini membuat
rakyat harus selalu tunduk dan patuh terhadap apa yang diperintahkan oleh
penguasa. Sebaliknya, penguasa memiliki kewajiban untuk melindungi rakyat.
Walaupun dalam prakteknya, rakyat lebih banyak harus melakukan kewajibannya
kepada penguasa. Feodalisme di masa kerajaan-kerajaan tradisional Indonesia ini
mirip yang terjadi dengan feodalisme yang terjadi di Barat abad pertengahan.
Dalam melaksanakan pemerintahan dan
melanggengkan kekuasaannya di Indonesia, Pemerintah Kolonial Belanda menerapkan
sistem pemerintahan tidak langsung yang memanfaatkan sistem feodalisme yang
sudah berkembang di Indonesia. Ciri khas feodalisme adalah ketaatan mutlak dari
lapisan paling bawah terhadap atasannya. Hubungan antara para kolonialis dengan
para feodal adalah hubungan yang saling memanfaatkan dan saling menguntungkan,
sedangkan rakyatlah yang menjadi objek penindasan dan penghisapan dari kedua
belah pihak.
Kepemilikan
perseorangan atas tanah dan budak pada akhirnya mencapai puncaknya dan
memunculkan pertentangan pokok antar si budak dengan para tuan budak di
mana-mana. Hal ini direspon oleh para tuan budak dengan membebaskan secara
relatif budak dan memperlonggar beban kerja serta memperbaiki kualitas hidup
(makanan dan pakaian). Diikuti oleh upaya tuan budak untuk memperkuat diri
dengan membangun suprastruktur kekuasaan lokal dengan mengangkat diri sebagai
raja atas sebuah wilayah, mempekerjakan budak-budak yang memiliki kebebasan
secara relatif di atas tanah dan juga membangun kekuatan militer atau prajurit,
yang dipimpin oleh para tukang pukul dan anak-anak tuan budak. Inilah yang
menjadi awal mula munculnya kerajaan-kerajaan lokal dan kecil-kecil di
Indonesia. Hal ini menandai lahirnya era setengah perbudakan dan perkembangan
feodalisme.
Ini berarti pula
beberapa pikiran dan kajian sejarah selama ini yang selalu melihat zaman
kemunculan kerajaan di Indonesia hanya sebagai era feodalisme adalah tidak
tepat. Memang benar ketika dikatakan bahwa kekuasaan pada waktu itu mengambil
bentuk feodal yaitu kerajaan, akan tetapi hakekat hubungan produksi dan
tenaga-tenaga produktif yang ada jelas lebih tepat bila dikatakan sebagai
setengah perbudakan. Pembuatan candi-candi yang mempekerjakan rakyat tanpa
dibayar, perang dan penaklukan dengan merekrut prajurit dari kalangan kaum tani
tanpa dibayar, semua tanah dan hasilnya adalah untuk keperluan dan milik Raja,
raja yang menentukan apakah seseorang itu adalah orang bebas atau tidak,
merupakan beberapa bukti yang menguatkan karakter masyarakat setengah
perbudakan.
Masa berkuasanya
kerajaan Majapahit adalah babak paling akhir dari masa setengah perbudakan
untuk bisa hidup dan mempertahankan syarat-syarat penindasannya. Sehingga
kehancuran Majapahit juga bisa dikatakan sebagai kehancuran dari suprastruktur
setengah perbudakan. Cikal – bakal feodalisme telah tumbuh pada masa setengah
perbudakan yang semakin menonjol dengan berdirinya kekuasaan para raja yang
sebelumnya adalah tuan budak dan pada hakekatnya adalah kekuasaan para tuan
tanah. Perubahan ini sebagai akibat perkembangan kekuatan produktif dalam hal
ini para budak yang tidak lagi sesuai dengan hubungan produksi perbudakan yang
menindas mereka. Kelas – kelassosial dalam masyarakat setengah perbudakan
sengaja disamarkan dalam ajaran agama Hindu dengan ajarannya tentang Kasta.
Ajaran Hindu tentang kasta sosial tersebut kemudian dilawan oleh Islam yang
mulai hadir di Indonesia pada Abad 14 Masehi. Akan tetapi Islam tidak melawan
perkembangan feodalisme yang mencirikan penguasaan tanah luas oleh para
bangsawan dan tokoh-tokoh agama. Islam hanya melawan sistem setengah perbudakan
yang masih ada dan di sisi yang lain semakin memberikan kekuatan bagi tumbuh
dan berkembangnya feodalisme. Yang perlu dicatat bahwa pada saat itu feodalisme
sebagai corak produksi belumlah sempurna, karena kekuasaan ekonomi maupun
politik feodalisme tidak terkonsolidir dan terpusat. Tidak ada kota yang
sungguh-sungguh menjadi pusat desa, dan tak ada pusat kekuasaan yang
betul-betul tersentral. Mereka masih terdiri dari tuan tanah – tuan tanah lokal
(raja – raja lokal) yang melakukan monopoli atas tanah dan segala kekayaan alam
lainnya. Konsolidasi dan pematangan feodalisme di Indonesia dilakukan di
kemudian hari oleh kolonialisme.
Raja dianggap sebagai
pusat dari segala kekuasaan dan alam semesta, serta pemilik jagad raya. Paham
ini menempatkan raja sebagai pemilik tanah kerajaan dengan kekuasaan mutlak.
Dalam situasi demikian itu, maka kawula hanya mengenal hak pakai atas tanah
dengan sistem hanggadhuh. Terhadap kaum keluarga dan kerabat kerja serta para
pegawai kerajaan diberlakukan sistem tanah pinjam berupa tanah apanase untuk
kaum keluarga dan kaum kerabat raja (Sentra dalem), dan lungguh atau bengkok
untuk para pegawai kerajaan (Abdi Dalem). Disamping itu dalam hal-hal khusus,
raja menghadiahi tanah kepada sekelompok warga masyarakat tertentu dengan
tugas-tugas tertentu. Dari kejadian ini lahirlah tanah-tanah perdika mutihan
dan sebagainya
Kedudukan
pemimpin dalam masyarakat Jawa identik dengan kaum priyayi dan Bangsawan dan
sangat dipandang tinggi dan mulia. Yang namanya trah bangsawan maupun priyayi
memiliki citra khusus dan istimewa, selain ”berdarah biru” mereka dianggap
mumpuni dan waskita dalam pergaulan masyarakat kebanyakan. Dan ketika
orang-orang berkedudukan lebih rendah tidak berhak menilai norma moral
orang – orang yang berkedudukan lebih rendah tidak berhak menilai norma
moral orang-orang yang berkedudukan tinggi, apalagi mengkritik atau meminta
pertanggung jawaban mereka, maka atasan dengan sendirinya dianggap benar, tidak
pernah salah dan dengan demikian menjadi standar moral yang akan ditiru
oleh bawahannya.
Struktur
feodalisme dalam pandangan masa kini bisa di katakan tidak ada ketidakadilan
dan memang itulah yang ada dalam sistem feodalisme. Yang paling berkuasalah
yang mengatur segalanya dari segi politik, dia yang mempunyai lahan yang luas
dan mempunyai harta kekayaan dialah yang berkuasa(bangsawan), tetapi ada juga
yang secara turun – temurun berkuasa karena atas dasar banyak pengikutnya
dan dipercaya oleh para pengikutnya (Raja). Sedangkan para abdi dalem itu
hanya orang-orang yang setia pada raja atas dasar loyalitas dan sudah melayani
dan berbakti pada raja dengan jangka watu yang tidak lama, serta para keluarga
raja. Dan para petani dan wong cilik hanya sebagai bagian dari stratifikasi
sosial yang sebenarnya sangat berperan penting dalam struktur feodal, seperti
rakyat. Dalam era yang sekarang pun unsur rakyat sangat penting dalam sebuah
negara tanpa adanya rakyat maka tidak bisa disebut negara, begitu pula dengan
struktur feodalisme semakin sedikit rakyat maka kerajaannya pun semakin lemah.
Karena pada masa feodalisme ini sektor pertanian sangatlah penting dan
pertanian tidak akan berjalan tanpa adanya petani yang banyak pula mengingat
semakin besar hasil produksinya maka kerajaan itu akan semakin maju.
Statifikasi sosial feodal masyarakat Jawa terdiri
dari :
a) Raja mempunyai
kekuasaan yang absolut atas atas hidup dan hak milik hamba kawulanya dari yang
tertinggi hingga yang terendah,
b) Bangsawan, baik
yang berasal dari keluarga raja maupun priyayi atau abdi dalam atau pegaawai
kerajaan di atas kepala desa serta orang – orang yang tidak biasa ( cedikiawan,
sastrawan / pujangga),
c) Petani – wong
cilik (orang kecil).
Paham kekuasaan Jawa yang dilandasi
dengan despotisme membawa akibat raja harus mempertahankan monopoli kekuasaan
mutlak . Oleh karena itu di Jawa tidak mungkin ada bangsawan – bangsawan daerah
sejati yang memiliki otonomi luas. Karena juga terikat dengan doktrin despotis.
Raja adalah turunan dewa yang menguasai segala tanah dan seisinya serta yang
hidup di atasnya.
Besarnya kekuasaan raja dalam
mengatur dan menentukan seseorang dalam tangga sosial masyarakatnya sehingga
Raja berperan dalam mengangkat seseorang dari kalangan bawah menjadi seorang
bupati atau patih melalui pangestukaum priyayi, baik terhadap raja maupun
terhadap kawula. Mereka nunut kamukten ( numpang kemuliaan) raja dengan
cara melanggengkan simbol kekuasaan. Meninggikan raja dalam banyak upacara,
samadengan menegaskan kepriyayian mereka. Kesetiaan priyayi pada raja adalah
karena perkenalan mereka sejak dini dengan kekuasaan melalui simbol- simbol
bersamaan dengan sosialisasi. Stratifikasi priyayi yang ditunjukan dalam simbol
baik jumlah sembah, pakaian, bahasa dan tempat duduk waktu mengahdap raja,
semuanya memperkuat struktur tersebut. Menjadi abdi dalem bagi priyayi adalah
cita – cita mereka sejak kecil.
Pemimpin, orang –orang tinggi dan
para orang tua dalam pandangan orang Jawa harus dilayani dan dihormati secara
luas. Orang – orang bawahan merasa dihormati kalau boleh menghaturkan hadiah
kecil kepada atasan , sebaliknya menjadi atasan membawa kewajiban untuk
melindungi para bawahan dan mereka yang kedudukannya lembih rendah. Bawahan
mengharapkan dari atasan perlindungan dan pedoman moral, sedangkan atasan boleh
memperhitungkan pelayanan dan loyalitas dari para bawahan. Bawahan dan orang –
orang rendahan tidak berhak untuk mengukur atasan atau orang – orang yang
berkedudukan lebih tinggi norma moral, untuk mengkritik atau meminta
pertanggungjawaban mereka , melainkan justru sebaliknya, kelakuan atasan dengan
sendirinya dianggap benar dan dengan demikian menjadi standar moral yang akan
ditiru oleh bawahannya (Suseno,1996). Koentjaraningrat ( 1969) menilai
kenyataan tersebut secara negatif.
Pengaruh pada VOC dan Hindia Belanda
:
Pada masa Van den bosch tahun 1830,
pemerintah Belanda membangun sebuah sistem ekonomi-politik yang menjadi dasar
pola kapitalisme negara di Indonesia. Sistem ini bernama tanam paksa. Ini
diberlakukan karena VOC mengalami kebangkrutan.Tanam Paksa merupakan tonggak
peralihan dari sistem ekonomi perdagangan (merkantilis) ke sistem ekonomi
produksi. Ciri-ciri tanam paksa ini berupa:
1. Kaum tani diwajibkan menanam tanaman
yang laku dipasaran Eropa, yaitu tebu, kopi, teh, nila, kapas, rosela dan
tembakau; kaum tani wajib menyerahkan hasilnya kepada pemerintah kolonial
dengan harga yang telah ditentukan oleh pemerintah Belanda;
2. Perubahan (baca: penghancuran)
sistim pengairan sawah dan palawija;
3. Mobilisasi kuda, kerbau dan sapi
untuk pembajakan dan pengang kutan;
4. Optimalisasi pelabuhan, termasuk
pelabuhan alam;
5. Pendirian pabrik-pabrik di
lingkungan pedesaan, pabrik gula dan karung goni;
6. Kerja paksa atau rodi atau corvee
labour untuk pemerintah;
7. Pembebanan berbagai macam pajak.
Sistem ini juga merupakan titik awal
berkembangnya kapitalisme perkebunan di Indonesia.Tapi, dalam pelaksanaan
sistem ini pelaksanaannya tidak luput dari tatanan yang feodal, dengan
menggunakan bantuan orang – oranglokal, di mana desa menjadi mata rantai antara
petani dan pejabat di nusantara atau biasanya disebut regent oleh Belandadan
regent ini bertanggung jawab kepada pemerintah setempat. Sehingga secara
langsung VOC dan Hindia Belanda menggunakan para penguasa daerah sebagai alat
untuk melakukan tanam paksa ini, karena tatanan liberalisme tidak mungkin
diterapkan di Nusantara yang tidak selan dengan kultur masyarakat Nusantara.
Karena paham konservatif ini secara
langsung akan membentuk hubungan langsung antara pemerintah dan desa dengan
melalui perantara seorang bupati, Bupati berperan sebagai pengawas dan menjamin
produksi atau disebut mandor, sedang kepala desa bertanggung jawab memenuhi
target produksi. Dan setiap bupati dan Kepala desa di bayar berdasarkan jumlah
produksi dan kualitas produksi tersebut ( cultuurprocenten)
Itulah beberapa alasan mengapan peranan feodal spenting bagi
VOC dan Hindia – Belandakarena struktur masyarakat Nusantara yang tradisinal
masih kuat menganut feodal jadi mau tidak mau VOC maupun Hindia Belanda harus
mempunyai strategi untuk menyiasati hal tersebut, karena dari beberapa sistem
yang dilaksanakan di Nusantara mengalami kegagalan, di antaranya monopoli,
pajak dan lain lain. Dan untuk itu maka diadakan penyelesaian memalui
percampuran antara kolonialisasi dan feodal,
4.
Pendapat
Tidak Setuju akan Feodalisme.
Dalam sejarah feodalisme, sekelompok
orang yang disebut bangsawan yang menguasai suatu wilayah, memiliki hak kuasa
atas tanah, hasil produksi dan hak atas setiap individu dalam wilayah tersebut.
Hak-hak yang dimiliki pun terkesan tak terbatas, kaum bangsawan dapat mengambil
keputusan yang merugikan masyarakat dan tidak dapat diganggu gugat oleh
masyarakat tersebut karena kaum feodal memegang kuasa atas apapun yang berada
di wilayahnya. Dengan kata lain, dalam sistem feodalisme, kedaulatan rakyat
berada di tangan satu orang atau sekelompok orang yang mengambil hak
kemerdekaan individual masyarakat dalam suatu komunitas dan ini bertentangan
dengan demokrasi.
Sebagaimana
sejarah telah menceritakan tentang kehidupan feodalisme dari masa ke masa, maka
ada beberapa dampak negatif yang perlu diperhatikan akibat dari pelaksanaan
system ini dalam masyarakat.
Pertama, dari segi
politik, muncul kekuasaan yang terpusat hanya pada sekelompok orang tertentu
yang memiliki pangkat dan jabatan (baca: bangsawan atau priyayi). Semua urusan
pemerintahan dipegang dan dikuasai kelompok ini, rakyat tidak berhak ikut
campur dalam keputusan mereka tetapi harus selalu patuh akan perintah dan
kebijakan mereka. Maka sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, hubungan yang
muncul adalah gusti-kawula (baca: hubungan patrimonial). Prinsip
egalitarianism dalam hal ini menjadi tidak berlaku sehingga rakyat pun
kehilangan harkat dan martabatnya yang seharusnya dimiliki oleh setiap manusia
(baca: fitrah manusia).
Kedua, dari segi
budaya, tertanamnya asas “setia dan tunduk” dalam diri rakyat kepada penguasa.
Maka kemudian rakyat akan berpikir mereka hanya perlu tunduk dan melaksanakan
perintah tanpa berinisiatif untuk mengembangkan kreativitas dirinya sendiri.
Daya saing antar rakyat menjadi terbatasi oleh rasa segan dan takut kepada
penguasa atau atasan. Rakyat menjadi pasrah dan tidak suka bekerja keras,
karena mereka menganggap dengan menurut kepada atasan, mereka akan mendapatkan
apa yang diinginkan. Maka kemudian, mental penjilat menjadi tumbuh subur dalam
budaya feodalisme dimana mental dan tekad untuk maju begitu sulit diwujudkan
karena hanya berharap pada atasan.
DAFTAR PUSTAKA
Anjar
Lelono Broto, Membedah Feodalisme, dalamhttp://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=28&jd=Membedah+Feodalisme&dn=20091215101431 yang diakses tanggal 22 September 2014.
Jabal
Ali Husin Sab, Ancaman Neo Feodalisme, dalam http://politik.kompasiana.com/2011/10/17/ancaman-neo-feodalisme/ yang diakses tanggal 22
September 2014.
http://triwidodo.wordpress.com/2011/12/24/neo-feodalisme-di-tengah-bangsa/ yang diakses tanggal 22
September 2014.
http://www.bimbingan.org/tag/dampak-negatif-feodalismeyang diakses tanggal 22
September 2014.
http://hi.fisip.undip.ac.id/globalisasi-feodalisme-baru-menakar-persebaran-teknologi-dalam-globalisasi/yang diakses tanggal 22
September 2014.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda