Jumat, 19 Desember 2014

Imperialisme




IMPERIALISME (KONTRA)



 (Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah SejarahIntelektual)




Oleh:

RIDHO R PUTRA
(120210302099)
Kelas B





PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014







PENGERTIAN IMPERIALISME.
Istilah imperialisme yang diperkenalkan di Perancis pada tahun 1830-an, imperium Napoleon Bonaparte. Pada tahun 1830-an, istilah ini diperkenalkan oleh penulis Inggris untuk menerangkan dasar-dasar perluasan kekuasaan yang dilakukan oleh Kerajaan Inggris. Orang Inggris menganggap merekalah yang paling berkuasa (Greater Britain) karena mereka telah banyak menguasai dan menjajah di wilayah Asia dan Afrika. Mereka menganggap bahwa penjajahan bertujuan untuk membangun masyarakat yang dijajah yang dinilai masih terbelakang dan untuk kebaikan dunia.
Imperialisme merujuk pada sistem pemerintahan serta hubungan ekonomi dan politik negara-negara kaya dan berkuasa , mengawal dan menguasai negara - negara lain yang dianggap terbelakang dan miskin dengan tujuan mengeksploitasi sumber-sumber yang ada di negara tersebut untuk menambah kekayaan dan kekuasaan negara penjajahnya. Imperialisme menonjolkan sifat-sifat keunggulan (hegemony) oleh satu bangsa atas bangsa lain. Tujuan utama imperialisme adalah menambah hasil ekonomi. Negara-negara imperialis ingin memperoleh keuntungan dari negeri yang mereka kuasai karena sumber ekonomi negara mereka tidak mencukupi. Selain faktor ekonomi, terdapat satu kepercayaan bahwa sebuah bangsa lebih mulia atau lebih baik dari bangsa lain yang dikenal sebagai ethnosentrism, contoh bangsa Jerman (Arya) dan Italia. Faktor lain yang menyumbang pada dasar imperialisme adalah adanya perasaan ingin mencapai taraf sebagai bangsa yang besar dan memerintah dunia, misalnya dasar imperialisme Jepang.
Dasar imperialisme awalnya bertujuan untuk menyebarkan ide-ide dan kebuadayaan Barat ke seluruh dunia. Oleh karena itulah, imperialisme bukan hanya dilihat sebagai penindasan terhadap tanah jajahan tetapi sebaliknya dapat menjadi 3 faktor pendorong pembaharuan-pembaharuan yang dapat menyumbang kearah pembinaan sebuah bangsa seperti pendidikan, kesehatan, perundang-undangan dan sistem pemerintahan.
Sarjana Barat membagi imperialisme dalam dua kategori yaitu imperialism kuno dan imperialisme modern. Imperialisme kuno adalah negara-negara yang berhasil menaklukan atau menguasai negara-negara lain, atau yang mempunyai suatu imperium seperti imperium Romawi, Turki Usmani, dan China, termasuk Spanyol, Portugis, Belanda, Inggris dan Perancis yang memperoleh jajahan di Asia, Amerika dan Afrika sebelum 1870, tujuan imperialisme kuno adalah selain faktor ekonomi (menguasai daerah yang kaya dengan sumber daya alam) juga termasuk didalamnya tercakup faktor agama dan kajayaan .
Sedangkan Imperialisme modern bermula setelah Revolusi Industri di Inggris tahun 1870-an. Hal yang menjadi faktor pendorongnya adalah adanya kelebihan modal dan Barang di negara-negara Barat. Selepas tahun 1870 – an, negara - negara Eropa berlomba-lomba mencari daerah jajahan di wilayah Asia, Amerika dan Afrika. Mereka mencari wilayah jajahan sebagai wilayah penyuplai bahan baku dan juga sebagai daerah pemasaran hasil industri mereka. Dasar Imperialisme ini dilaksanakan demi agama, mereka menganggap bahwa menjadi tugas suci agama untuk menyelamatkan manusia dari segala macam penindasan dan ketidakadilan terutama di negara-negara yang dianggap terbelakang seperti para misionaris Kristen yang menganggap misi penyelamat ini sebagai The White Man Burden. Diantara faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya imperialisme adalah faktor politik dan ekonomi.
Imperialisme Kuno (Ancient Imperialism). Inti dari imperialisme kuno adalah semboyan gold, gospel, and glory (penyebaran agama, kekayaan dan kejayaan). Suatu negara merebut negara lain untuk menyebarkan agama, mendapatkan kekayaan dan menambah kejayaannya. Imperialisme ini berlangsung sebelum revolusi industri dan dipelopori oleh Spanyol dan Portugal.
Imperialisme Modern (Modern Imperialism). Inti dari imperialisme modern ialah kemajuan ekonomi. Imperialisme modern timbul sesudah revolusi industri. Industri besar-besaran (akibat revolusi industri) membutuhkan bahan mentah yang banyak dan pasar yang luas. Mereka mencari jajahan untuk dijadikan sumber bahan mentah dan pasar bagi hasil-hasil industri, kemudian juga sebgai tempat penanaman modal bagi kapital surplus.
Pembagian imperialisme dalam imperialisme kuno dan imperialisme modern ini didasakan pada soal untuk apa si imperialis merebut orang lain.
Jika mendasarkan pendangan kita pada sektor apa yang ingin direbut si imperialis, maka kita akan mendapatkan pembagian macam imperialisme yang lain, yaitu:
Imperialisme Politik. Si imperialis hendak mengusai segala-galnya dari suatu negara lain. Negara yang direbutnya itu merupakan jajahan dalam arti yang sesungguhnya. Bentuk imperialisme politik ini tidak umum ditemui di zaman modern karena pada zaman modern oaham nasionalisme sudah berkembang. Imperialisme politik ini biasanya bersembunyi dalam bentuk protectorate dan mandate.
Imperialisme Ekonomi. Si imperialis hendak menguasai hanya ekonominya saja dari suatu negara lain. Jika sesuatu negara tidak mungkin dapat dikuasai dengan jalan imperialisme politik, maka negara itu masih dapat dikuasai juga jika ekonomi negara itu dapat dikuasai si imperialis. Imperialisme ekonomi inilah yang sekarang sangat disukai oleh negara-negara imperialis untuk menggantikan imperialisme politik.
Imperialisme Kebudayaan. Si imperialis hendak menguasai jiwa (de geest, the mind) dari suatu negara lain. Dalam kebudayaan terletak jiwa dari suatu bangsa. Jika kebudayaannya dapat diubah, berubahlah jiwa dari bangsa itu. Si imperialis hendak melenyapkan kebudayaan dari suatu bangsa dan menggantikannya dengan kebudayaan si imperialis, hingga jiwa bangsa jajahan itu menjadi sama atau menjadi satu dengan jiwa si penjajah. Menguasai jiwa suatu bangsa berarti mengusai segala-galnya dari bangsa itu. Imperialisme kebudayaan ini adalah imperialisme yang sangat berbahaya, karena masuknya gampang, tidak terasa oleh yang akan dijajah dan jika berhasil sukar sekali bangsa yang dijajah dapat membebaskan diri kembali, bahkan mungkin tidak sanggup lagi membebaskan diri.
Imperialisme Militer (Military Imperialism). Si imperialis hendak menguasai kedudukan militer dari suatu negara. Ini dijalankan untuk menjamin keselamatan si imperialis untuk kepentingan agresif atau ekonomi. Tidak perlu seluruh negara diduduki sebagai jajahan, cukup jika tempat-tempat yang strategis dari suatu negara berarti menguasai pula seluruh negara dengan ancaman militer.
Keinginan untuk menjadi jaya, menjadi bangsa yang terbesar di seluruh dunia (ambition, eerzucht). Tiap bangsa ingin menjadi jaya. Tetapi sampai dimanakah batas-batas kejayaan itu ? Jika suatu bangsa tidak dapat mengendalikan keinginan ini, mudah bangsa itu menjadi bangsa imperialis. Karena itu dapat dikatakan, bahwa tiap bangsa itu mengandung benih imperialisme.
Perasaan sesuatu bangsa, bahwa bangsa itu adalah bangsa istimewa di dunia ini (racial superiority). Tiap bangsa mempunyai harga diri. Jika harga diri ini menebal, mudah menjadi kecongkakan untuk kemudian menimbulakan anggapan, bahwa merekalah bangsa teristimewa di dunia ini, dan berhak menguasai, atau mengatur atau memimpin bangsa-bangsa lainnya.
Hasrat untuk menyebarkan agama atau ideologi dapat menimbulkan imperialisme. Tujuannya bukan imperialisme, tetapi agama atau ideologi. Imperialisme di sini dapat timbul sebagai "bij-product" saja. Tetapi jika penyebaran agama itu didukung oleh pemerintah negara, maka sering tujuan pertama terdesak dan merosot menjadi alasan untuk membenarkan tindakan imperialisme.
Letak suatu negara yang diangap geografis tidak menguntungkan. Perbatasan suatu negara mempunyai arti yang sangat penting bagi politik negara. Dari berbagai penyebab imperialisme, maka sebab-sebab ekonomi inilah yang merupakan sebab yang terpenting dari timbulnya imperialisme, teistimewa imperialisme modern. Keinginan untuk mendapatkan kekayaan dari suatu Negara. Ingin ikut dalam perdagangan dunia dan ingin menguasai perdagangan  Keinginan untuk menjamin suburnya industri ang memungkinkan untuk dirinya sendiri.
PERKEMBANGAN IMPERIALISME DI ASIA DAN INDONESIA.
Di zaman perekonomian Asia yang telah maju, perekonomian Eropa justru masih tertinggal jauh. Pusat perkembangan ekonomi dan politik dunia dalam abad ke-14 – 15 adalah dunia Islam, khususnya imperium Turki Usmani (Ottoman) yang telah menguasai wilayah-wilayah strategis yang semula dikuasai oleh Romawi-Byzantium. Penguasaan atas wilayah-wilayah itu sekaligus telah menyekat jalur perdagangan dari Timur ke Barat yang mengakibatkan barang-barang dagangan dari Timur seperti rempah-remapah menjadi langka dan harganya melambung tinggi.
Meskipun harganya relatif tinggi ternyata minat masyarakat Eropa waktu itu terhadap komoditi itu tidak menurun, bahkan cenderung meningkat. Oleh karena itu maka para penguasa dan pengusaha atau pedagang Eropa berupaya mencari jalan alternatif ke daerah penghasil komoditi tersebut. Meningkatnya permintaan baik dari Eropa maupun dari tempat lainnya seperti India secara tidak lengsung telah mendorong para produsen di kepulauan Nusantara, khususnya kepulauan Maluku memperluas tanaman ekspornya, terutama pala dan cengkeh. Selain adanya perluasan seperti pala dan cengkeh, juga di beberapa pulau, seperti di Sumatera dikembangkan pula komoditi lain yang juga sangat diminati orang-orang Eropa, yaitu lada. Walaupun harganya hanya separuh rempah-rempah, namun waktu itu lada sudah termasuk komoditi ekspor yang penting dari wilayah Nusantara, bahkan Asia Tenggara. Menurut beberapa sumber, tanaman ini mulanya merupakan barang dagangan dari Kerala, pantai Malabar di India barat daya, yang dikenal oleh orang-orang Arab dan Eropa sebagai ¡§negeri lada¡¨. Sejak kapan lada dibumidayakan oleh penduduk Sumatera tidak begitu jelas.
Sejak runtuhnya Sriwijaya, kota pelabuhan terbesar yang patut disebut sebuah emporium adalah Malaka. Kota pelabuhan yang sekaligus menyandang nama kerajaan itu muncul pada ke-15 M. Kemunculannya sekaligus menggeser kedudukan Pasai dalam dunia perdagangan internasional. Secara geografis letak Malaka cukup strategis dan lebih menguntungkan dibandingkan Pasai. Pendiri Malaka, yaitu Parameswara menyadari pentingnya jaminan keamanan bagi negerinya yang kehidupan ekonominya lebih banyak bertumpu pada perdagangan daripada pertanian. Agar kotanya tetap ramai, penguasa Malaka berusaha mengamankan jalur-jalur perdagangannya dari para bajak laut atau lanun yang berkeliaran di sekitar Selat Malaka. Di samping itu penguasa Malaka berupaya menjalin hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan sekitarnya, terutama Majapahit (Jawa), Siam dan Cina.
Malaka juga mengirimkan ekspedisi militernya ke negeri-negeri yang dianggapnya penting untuk dikuasai karena menghasilkan barang-barang yang sangat dibutuhkan Malaka. Misalnya Kampar di pantai timur Sumatera ditaklukannya karena daerah ini merupakan penghasil lada dan merupakan pintu keluarnya emas dari daerah pedalaman Minangkabau. Kemudian Siak juga ditaklukan dan dikuasainya karena menghasilkan emas.
Keberhasilan Parameswara menjalankan kebijakan politiknya, ditambah dengan perbaikan sistem pergudangan dan perbengkelan kapal (doking), membuat kota Malaka berkembang menjadi sebuah emporium terbesar di Asia Tenggara. Apalagi setelah penguasa Malaka menjadi Islam pada tahun 1414, telah mendorong semakin banyak pedagang Islam dari Arab dan India yang nota bene menguasai jalur perdagangan dari Asia ke Timur Tengah, melakukan kegiatan bisnis-perdagangan di kota ini.
Menurut Tome Pires, penulis Portugis, kebijakan yang ditempuh para raja Malaka adalah menumbuhkan sistem birokrasi yang dapat memenuhi tugasnya dalam mengatur perekonomian Malaka. Salah satu jabatan yang erat kaitannya dengan perdagangan di pelabuhan adalah Syahbandar. Di Malaka waktu itu ada empat orang syahbandar yang dipilih sendiri oleh para pedagang asing dari berbagai kelompok bangsa untuk mengurusi kepentingan niaga mereka. Pertama, syahbandar yang mengurusi para pedagang Gujarat; kedua, syahbandar yang mengurusi para pedagang Keling, Bengali, Pegu, dan penduduk Pasai; ketiga, syahbandar yang menjaga kepentingan para pedagang Jawa, Maluku, Banda, Palembang, Kalimantan, dan Filipina (Sulu dan Mangindanau); dan keempat adalah syahbandar yang menjaga dan mewakili para pedagang Cina dan kepulauan Liu-Kiu. Kedudukan Malaka seperti inilah yang mendorong Portugis berusaha menguasainya.
Bangsa Portugis telah mendengar informasi tentang kota Malaka dengan segala kekayaan dan kebesarannya itu dari pedagang-pedagang Asia. Atas dasar informs itu Raja Portugal mengutus Diogo Lopes de Sequeira untuk menemukan kota tersebut, menjalin hubungan persahabatan dengan penguasanya dan menetap disana sebagai wakil raja Portugal. Awalnya Sequeira disambut dengan senang hati oleh Sultan Mahmud Syah (1488-1528). Sikap Sultan kemudian berubah setelah komunitas dagang Islam internasional yang ada di bandar itu meyakinkannya bahwa Portugis merupakan suatu ancaman berat baginya. Oleh karena itu Sultan berusaha menangkap Sequeira dan anak buahnya. Empat kapal Portugis yang sedang berlabuh berusaha dirusak oleh pihak Sultan, namun gagal karena para kaptennya telah berhasil membaya kapal-kapal itu berlayar ke laut lepas. Penyerangan terhadap Portugis juga terjadi di tempat lainnya di barat. Dengan adanya kejadian seperti itu Portugis yakin bahwa untuk menguasi perdagangan hanyalah dengan cara penaklukan, sekaligus mengokohkan eksistensinya dalam dunia perdagangan Asia.
Afonso de Albuquerque, panglima Portugis yang mendapat tugas untuk merebut Malaka dengan satu perhitungan jika Malaka dapat dikuasai maka seluruh perdagangan merica di Asia akan menjadi milik Portugis. Sebelum sampai ke Malaka, Portugis telah menguasai Hormuz dan Sokotra disekitar Teluk Persia dan Goa di pantai barat India yang kemudian dijadikan pangkalan tetap Portugis. Pada bulan April 1511, Albuquerque berlayar dari Goa menuju Malaka dengan membawa armada Portugis yang berkekuatan 1200 orang dan delapan belas buah kapal perang. Perang terjadi secara sporadis sepanjang bulan Juli dan awal bulan Agustus, yang akhirnya dimenangkan oleh Portugis.
Di satu pihak jatuhnya Byzantium ke tangan Turki Usmani telah menyebabkan komoditi dari Asia Timur dan Asia Tenggara di Eropa langka dan kalaupun ada harganya sangat mahal. Namun di pihak lainnya peristiwa itu berdampak positif karena telah mendorong meningkatnya ilmu pengetahuan di dunia Barat. Hal ini karena banyak ahli budaya-teknologi dari Byzantium yang lari ke Barat berhasil menularkan pengetahuannya di sana. Di Portugal misalnya, pengetahuan geografis dan astronominya meningkat semakin baik, sehingga orang-orang Portugis berhasil menjadi mualim-mualim kapal yang mahir dan tangguh.
Kepandaian ini kemudian dipadukan dengan berkembangnya teknologi perkapalannya mulai dari penemuan sistem layar segitiga dengan temali-temali persegi, serta kontruksi kapal yang semakin baik sehingga kapal-kapal mereka lebih mudah digerakkan dan lebih layak dipakai untuk pelayaran samudra. Demikian pula teknologi persenjataan mereka berkembang sehingga mampu menciptakan meriam – meriam yang dapat ditempatkan di atas kapal-kapal mereka. Kapal-kapal perangnya lebih menyerupai panggung meriam di lautan daripada istana terapung bagi para pemanah atau geladak balista (alat pelontar) seperti pada kapal-kapal Romawi pada masa Julius Caesar dan Oktavianus Agustus. Penemuan-penemuan teknologi itulah yang kemudian mendorong mereka untuk mencari jalur baru ke India (dalam mitos masyarakat Eropa waktu itu, rempah-rempah berasal dari India, sehingga mereka berlayar ke timur termasuk ke benua Amerika, adalah untuk mencari India).
Pada tahun 1478, Bartolomeu Diaz sampai ke Tanjung Harapan di ujung selatan Benua Afrika. Kemudian pada tahun 1497 armada pimpinan Vasco da Gama sampai ke India. Pengalaman di India ini telah menyadarkan orang-orang Portugis bahwa barang-barang perdagangan mereka tidak dapat bersaing di pasaran India yang canggih dengan hasil-hasil yang mengalir melalui jaringan perdagangan Asia. Oleh karena itulah semboyan ¡§God ¡VGold ¡V Glory¡¨ bagi mereka menjadi relevan, karena tidak ada cara lain untuk menguasai perdagangan Asia selain melalui peperangan dan menjadikan daerah-daerah penghasil komoditi itu sebagai koloni.
Setelah Portugis berhasil menguasai Malaka, mereka menemukan kenyataan yang di luar perkiraannya. Kota pelabuhan itu bagaikan ayam dalam dongeng ¡ayam bertelor emas¡¨ yang cukup terkenal di kalangan masyarakat Melayu. Seekor ayam yang setiap hari bertelor satu butir telor emas, yang kemudian disembelih oleh pemiliknya karena tidak sabar menunggu dan ingin segera mendapatkan telur-telur emas itu. Ternyata dalam tubuh ayam itu tidak ada telor emas. Portugis menemukan suatu kenyataan bahwa Malaka bukanlah produsen dari semua komoditi ekspor (khususnya merica) yang dicari-cari oleh para pedagang Barat.
Kebesaran Malaka adalah karena peranannya sebagai emporium, pelabuhan transit bagi para pedagang Asia. Dengan diterapkannya politik monopoli serta upaya kristenisasi oleh Portugis, peranan yang disebutkan terakhir justru terganggu. Para perdagangan Asia, khususnya pedagang Islam merasa tidak nyaman lagi berdagang di kota tersebut.
Umumnya mereka berupaya menghindari kota emporium itu dan mencari jalan alternatif guna mencapai tempat-tempat atau pelabuhan-pelabuhan lain yang diduga dapat memenuhi kebutuhan dagangnya. Jalur perdagangan di Asia Tenggara pun berubah, tidak lagi melalui Malaka tetapi melalui pantai barat Sumatera, lalu masuk selat Sunda untuk selanjutnya menelusuri pantai utara Jawa menuju kepulauan Indonesia bagian Timur yang menghasilkan banyak rempah-rempah. Di jalur perdagangan baru itu umbuh pusat - pusat perdagangan baru, seperti Aceh, Banten, Semarang, Jepara dan Surabaya.
Sementara itu Malaka yang dihindari oleh para pegadang Islam kedudukannya semakin merosot dan tidak pernah meraih kembali kejayaan dan kebesarannya. Portugis sendiri akhirnya menyadari bahwa pentingnya Malaka adalah peranannya sebagai pelabuhan emporium, pelabuhan transito. Guna mempertahankan fungsinya itu, kapal-kapal Portugis belayar ke Maluku untuk mengambil komoditi tersebut. Pada waktu itu di Maluku ada dua kesultanan Islam yang besar dalam kondisi sedang menurun dalam kekuasaan politiknya dan saling bermusuhan satu sama lain, yaitu Ternate dan Tidore.
Selain ke Maluku Portugis berusaha menjalin hubungan diplomatik dengan Pajajaran, satu kerajaan Hindu di Jawa Barat yang kedudukan politiknya juga sedang menurun. Namun kerjasama dengan kerajaan ini tidak sempat terwujud karena Pajajaran tenggelam oleh kekuatan Islam Demak - Banten. Kenyataan ini telah memaksa Portugis untuk meninggalkan politik anti Islamnya (Perang Salib), dan berusaha mencari mitra kerja atau sekutu dagang dari kalangan Islam. Sebab :
1.      Portugis harus menerima kenyataan bahwa kerajaankerajaan di sekitarnya adalah Islam, dan
2.      Perdagangan Islam di Asia Tenggara sampai Timur Tengah cukup dominani.
Dibandingkan dengan Belanda (Ekspedisi pertama Balanda di bawah pimpinan Cornellis de Houtman tiba di Banten tahun 1596) dan Inggris (ekspedisi pertama Inggris di bawah pimpinan Sir Francis Drake yang singgah di Ternate, Sulawesi dan Jawa diakhir tahun 1579) yang baru datang ke wilayah ini menjelang akhir abad ke-16, maka organisasi perdagangan Portugis memang kelihatan kuno dan kurang efisien. Organisasi dagang yang dibentuk para pedagang dan penguasa Belanda, yaitu Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) mempunyai tujuan utama yang jelas, yaitu dagang. Ketegasan itu antara lain tercermin dari khirarkhi VOC itu sendiri. Jabatan ¡§Eerste Koopman¡¨ misalnya, dalam hirarkhi VOC merupakan jabatan penting dan strategis. Pada zaman kejayaannya, hampir semua mantan pejabat ¡§Eerste Koopman¡¨ menjadi gubernur jenderal.
Dalam menanamkan pengaruhnya di Nusantara, baik Portugis maupun Belanda banyak mempergunakan pola-pola konflik setempat. Disamping itu mereka juga membawa konflik-konflik mereka di Eropa ke wilayah ini, yang kemudian juga dipergunakan oleh kerajaan-kerajaan di Indonesia. Sejak berdirinya, VOC sudah mempersiapkan diri untuk peperangan, terutama melawan musuh-musuhnya di Eropa. Pertama melawan Portugis dan Spanyol, setelah itu EIC (Inggris).
Permusuhan antar kekuatan Barat ini tidak saja karena pada dasarnya telah bermusuhan di Eropa, melainkan juga karena persaingan dagang di kepulauan Indonesia dan Semenanjung Melayu, di mana tiap-tiap pihak ingin memperoleh monopoli atas perdagangan tersebut.
Jatuhnya kota Malaka ke tangan Portugis, menyebabkan kota-kota lama dipesisir utara Jawa seperti Sunda Kalapa, Cirebon, Jepara, Pati, Kudus, Tuban, Gresik dan Surabaya, ramai dikunjungi para pedagang manca negara. Bahkan di beberapa daerah tumbuh pula kota dagang baru, antara lain Banten. Para penguasa di Jawa melihat Portugis sebagai saingan dan ganjalan dalam perdagangan mereka. Jepara misalnya, melihat Portugis sebagai saingan utama dalam perdagangan lada yang kedua-duanya mengambil barang dagangan itu dari Maluku.
Kemudian Demak sebagai pengekspor beras ke Malaka, menjadi rugi setelah kota tersebut jatuh ke tangan Portugis. Faktor-faktor inilah dan juga isu-isu perang agama yang mendorong Demak, Jepara dan Kudus bersatu untuk menyerang Malaka. Ekspedisi penyerangan dilakukan pada tahun 1513 di bawah Pati Unus. Konon ekspedisi ini terdiri dari 100 buah kapal perang serta membawa 5000 prajurit gabungan dari Jepara dan Palembang.. Namun ekspedisi itu dapat dikalahkan oleh Portugis. Kemudian pada tahun 1551 Jepara kembali mengirimkan ekspedisinya membantu Johor untuk menyerang Malaka Portugis yang juga berakhir dengan kegagalan. Pada tahun 1574 Jepara sekali lagi mengirimkan ekspedisinya mengepunga Malaka Portugis selama tiga bula. Namun juga tidak berhasil melumpuhkan kekuatan Portugis di kota pelabuhan itu.
Pada masa Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC), gubernur jenderal merupakan penguasa tertinggi di Hindia. Ia mempunyai kekuasaan yang nyaris tak terbatas seperti halnya seorang raja absolut karena tidak ada undang-undang yang khusus mengatur hak-hak dan kewajibannya. Demikian pula dengan struktur pemerintahannya di Asia, khususnya Hindia Timur juga tidak ditentukan. Salah satu pasal yang penting dari oktroi VOC adalah hak monopolinya, sehingga dengan haknya itu VOC merupakan satu-satunya badan dari Belanda yang boleh mengirimkan kapal-kapal ke daerah sebelah timur Tanjung Harapan.
Dalam melaksanakan pemerintahannya, gubernur jenderal didampingi oleh Raad van Indie (dalam prinsipnya terdiri atas enam orang anggota dan dua anggota luar biasa, di mana gubernur jenderal merangkap sebagai ketua). Laporan-laporan mengenai aktivitas VOC secara berkala dikirimkan ke dewan Heeren XVII, yang merupakan pimpinan pusat VOC yang berkedudukan di Amsterdam. Dalam menangani wilayah kekuasaannya, VOC lebih banyak melakukannya melalui pemerintahan tidak langsung. Hanya daerah-daerah tertentu saja, seperti Batavia, yang diperintah secara langsung oleh VOC. Dalam sistem seperti ini, kaum pribumi nyaris tidak terlibat dalam struktur kepegawaian VOC. Meskipun kaum elit pribumi terlibat dalam pemerintahan, tetapi status mereka bukan pegawai VOC dan tidak digaji secara tetap oleh kongsi dagang tersebut. Para elit pribumi lebih banyak diperlakukan sebagai mitra kerja demi kepentingan VOC. Hal ini terlihat jelas di daerah-daerah yang diperintah secara tidak langsung. Di daerah semacam itu, VOC membiarkan struktur lama (tradisional) tetap berdiri. Melalui para elit tradisional inilah kepentingan VOC disalurkan, antara lain dalam hal penarikan-penarikan wajib hasil produksi serta pajak-pajak yang dikenal dengan sistem leverantie dancontingenten (leveransi dan kontingensi).
Pemerintahan Daendels. Seperti telah disebutkan sebelumnya, sebenarnya VOC sudah tidak ada sejak tahun 1796. Akan tetapi, baru pada tanggal 1 Januari 1800¡X setelah masa berlaku oktroi-nya berakhir¡Xpembubaran VOC secara resmi diumumkan. Berkenaan dengan hal itu, semua utang-piutang kongsi dagang itu menjadi tanggung jawab pemerintah Belanda. Demikian pula dengan daerah kekuasaannya.
Peralihan kekuasaan dari VOC ke pemerintah Belanda sendiri tidak membawa dampak yang cukup berarti bagi wilayah Hindia Timur. Hal ini antara lain karena di Negeri Belanda sendiri masih terjadi kekacauan setelah Napoleon Bonaparte dari Prancis menyingkirkan Raja Willem van Oranje dan mendudukkan saudaranya, Louis Napoleon, sebagai raja baru Belanda. Dalam masa perlihan ini, pemerintah Belanda yang baru belum memperhatikan daerah koloninya sehingga para pejabat di wilayah Hindia Timur masih dipegang orang-orang lama. Akan tetapi, para pejabat Belanda di Hindia sendiri dilanda kebimbangan setelah adanya surat edaran dari Raja Willem yang meminta agar wilayah Hindia diserahkan kepada Inggris. Akibatnya, mereka bingung untuk memilih menuruti perintah Raja Belanda yang baru (Louis Napoleon) atau raja Belanda yang lama (Raja Willem).
Kedatangan pasukan Jepang di Indonesia, pada umumnya disambut oleh masyarakat Indonesia sebagai pahlawan pembebas daripada sebagai pasukan agresor. Bahkan di beberapa tempat di luar Jawa, tidak sedikit kalang nasionalis pribumi yang membentuk perlawanan terhadap Belanda menjelang datangnya serangan Jepang. Di Aceh misalnya, para ulama Islam Aceh yang tergabung dalam Persatuan Ulama – ulama Seluruh Aceh (PUSA-dibentuk tahun 1939) di bawah pimpinan Tengku Mohammad Daud Beureu¡¦eh (1899-1987) telah menghubungi Jepang untuk membantu serangan Jepang terhadap Belanda. Di Minangkabau, para ulama secara tidak langsung juga membantu pihak Jepang dan berharap dapat menyaksikan terdepaknya para penghulu dari kekuasaannya.
Sebagai balasannya, pada awal kekuasaannya, pemerintah Jepang banyak memberikan keleluasaan kepada kaum pribumi, seperti mengibarkan bendera merah putih, menyanyikan lagu Indonesia Raya, dan mengambil alih tanah-tanah perkebunan milik pengusaha Belanda. Sedangkan untuk memusnahkan pengaruh Barat, Jepang melarang pemakaian bahasa Belanda dan bahasa Inggris, serta berupaya memajukan pengajaran bahasa Jepang. Selain itu, kalender Jepang juga diberlakukan menggantikan kalender Masehi.
Akan tetapi dalam situasi peperangan, Jepang harus memilih prioritas – prioritas tertentu. Mereka cepat melakukan reorganisasi pemerintahan setempat dan memadamkan benih-benih revolusi yang mucul di beberapa daerah seiring dengan runtuhnya Hindia Belanda. Dalam menjalankan roda pemerintahan, Jepang terpaksa harus bersandar kepada para ambtenar dari masa kolonial Belanda seperti; uleebalang, di Aceh, penghulu di Sumatera Barat, para raja di Sumatera Timur, dan kaum priyayi di pulau Jawa. Sebagai catatan, Jepang telah membentuk tiga tentara wilayah, satu untuk Birma (Myanmar), dua untuk Indonesia dan Malaya. Tentara ke-14 di Filipina dan Tentara Garnisun di Muangthai langsung di bawah Panglima Tentara Selatan.
PENDAPAT KONTRA IMPERIALISME.
Kalau kata – kata tidak bisa lagi menyehatkan pikiran yang keblinger, mungkin senjata bisa melakukannya (Soekarno).
Mungkin itu adalah ungkapan kemarahan Bung Karno terhadap kelompok reaksioner yang selalu menghambat proses penuntasan revolusi Indonesia, yang menurutnya Revolusi kita belum selesai. Siapa yang tidak mengenal keberanian dan radikalisme salah satu pemimpin dunia yang paling disegani pada saat itu, berkali-kali pidatonya baik di panggung politik nasional maupun internasional (seperti Sidang Umum PBB) selalu dengan garang mengecam Imperialisme dan Neokolonialisme. Karena keteguhan dan keberaniannya itulah, pemimpin-pemimpin dari Asia-Afrika sangat kagum dengan Soekarno bahkan beberapa tahun setelah kejatuhannya mahasiswa-mahasiswa dari Afrika masih membawa buku-buku dan Biografi Soekarno dalam Pertemuan mahasiswa anti imperialis Internasional (Catatan Perjalanan sebulan Gie di AS). Namun, dibalik kharismanya yang gilang gemilang tersebut, beberapa tokoh intelektual kanan Belanda justru berpendapat negatif terhadap Soekarno sebagai seorang “Quisling” yang menjual bangsanya kepada Jepang. Tetapi tuduhan ini kehilangan pengaruh, ketika sampai sekarang orang semakin mengeluh-eluhkan sosok Soekarno, Pemimpin yang teguh melawan penjajahan asing.
Pemikiran radikal – progresif Soekarno sudah terbentuk sejak usianya masih sangat muda, salah satu tulisannya yang bisa menjadi acuan adalah “Nasionalisme, Islam dan Marxisme”. Dalam Tulisan yang dimuat secara berseri di Jurnal Indonesia Muda tahun 1926 itu, Soekarno dengan terang-terangan mengatakan bahwa maksud kedatangan kolonialis datang ke Indonesia adalah untuk memenuhi hasratnya mengakumulasi modal dan keuntungan (ekonomis). Dengan kepentingan akumulasi modal itulah, Soekarno membedah hubungan Imperialisme dan Kapitalisme itu sendiri, kapitalisme mendorong terjadinya apa yang ia sebut sebagai exploitation de l’homme par l’homme atau eksploitasi manusia oleh manusia lain. Keberpihakan pada teori perjuangan klas sangat kental dalam pemikiran Soekarno, Dalam sejumlah pidatonya ia menjelaskan tentang keberadaan tiga unsur sosial mendasar yang ada di kalangan massa yang dimiskinkan tersebut. Yakni proletariat, petani dan orang-orang yang dimiskinkan lainnya (pedagang asongan, dan mereka yang sedang mencari penghidupan). Pada tahun 1920-an, ia juga merumuskan konsep Marhaen (secara harfiah adalah nama seorang petani miskin yang pernah ia ajak bicara). Awal mulanya, Marhaen mengacu pada lapisan penduduk yang memiliki beberapa perkakas produksi sendiri (misalnya, seekor kerbau) dan bekerja untuk diri mereka sendiri tetapi masih tetap miskin, sebagaimana juga yang dialami buruh pabrik atau buruh perkebunan. Soekarno mengidentifisir realitas keberadaan negeri yang dipenuhi lautan semi-proletariat dan borjuis kecil yang miskin (Max Lane, Bangsa Yang belum Selesai; Aksi, Kejatuhan Soeharto dan Sejarah Indonesia, 2007).Pemikiran politik Soekarno kemudian di Praksiskan dengan mendirikan Partai progressif Partai Nasionalis Indonesia (PNI) tanggal 4 Juli 1927, Tujuannya jelas untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1928 ia menulis artikel berjudul Jerit Kegemparan di mana ia menunjukkan bahwa sekarang ini pemerintah kolonial mulai waswas dengan semakin kuatnya pergerakan nasional yang mengancam kekuasaannya. Ketika pada tanggal 29 Desember 1929 Soekarno ditangkap dan pada tanggal 29 Agustus 1930 disidangkan oleh pemerintah kolonial, Soekarno justru memanfaatkan kesempatan di persidangan itu. Dalam pledoinya yang terkenal berjudul Indonesia Menggugat dengan tegas ia menyatakan perlawanannya terhadap kolonialisme. Dan tak lama setelah dibebaskan dari penjara pada tanggal 31 Desember 1931 ia bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo), yakni partai berhaluan Radikal non-koperatif dengan kolonialis belanda yang dibentuk pada tahun 1931 untuk menggantikan PNI yang telah dibubarkan oleh pemerintah kolonial.
Meskipun mengakui dekat dan mengagumi Marxisme, Namun Soekarno mencoba membuat pemilahan dengan teori-teori umum Marxisme. Selain istilah Marhaen yang memiliki perbedaan dengan proletariat menurut Marx, ia lebih condong memodifikasi Marxisme untuk kebutuhan perjuangan pembebasan nasional melawan kolonialisme dengan menyerukan persatuan nasional dari unsur-unsur tertindas dari massa rakyat. Sebagaimana dikatakan oleh Ruth McVey, bagi Soekarno rakyat merupakan “padanan mesianik dari proletariat dalam pemikiran Marx,” dalam arti bahwa mereka ini merupakan “kelompok yang sekarang ini lemah dan terampas hak-haknya, tetapi yang nantinya, ketika digerakkan dalam gelora revolusi, akan mampu mengubah dunia.” Soekarno dan ”Revolusi Indonesia Belum Selesai” “Kaki kami telah berada di jalan menuju demokrasi,” lanjut Presiden Soekarno dalam pidatonya di depan Kongres AS itu. “Tetapi kami tidak ingin menipu diri sendiri dengan mengatakan bahwa kami telah menempuh seluruh jalan menuju demokrasi,” sambungnya. Ia sangat sadar bahwa meskipun indonesia selama bertahun-tahun sudah merdeka, tetapi kepentingan dan Neo-Kolonialisme dan imperialisme masih terus bercokol di Indonesia. Bagi Soekarno ancaman bagi revolus Indonesia sebenarnya tidak hanya datang dari luar tetapi muncul dari dalam negeri sendiri, dalam Pidatonya di HUT PKI, Ia mengatakan bahwa ”Salah satu tingkat dari Revolusi Indonesia adalah mengganyang musuh-musuh Revolusi”. Soekarno sangat menyadari kekuatan-kekuatan kontra yang mencoba menjatuhkan dan menghambat revolusinya. Upayanya memperkuat perjuangan anti-Imperialisme- anti-Kolonialisme dengan ide ”Nasionalisme-Agama-dan Komunisme” justru menjadi alat bersembunyi bagi kekuatan kanan dengan berpura-pura mendukung Nasakom dan masuk dalam front Nasional.
Kudeta Militer, 1965 adalah kontra-revolusi untuk memutus dan menghentikan proses revolusi yang di gagas Soekarno. Segera setelah Orde Baru berkuasa upaya membunuh karakter dan pribadi Soekarno berlangsung secara sistematis. Mulai tuduhan ber istri banyak dan punya daya tarik seksual mirip dengan raja-raja Jawa, hingga tuduhan bangsa Soekano adalah dalang G.30.S/PKI (Antonie Dake, dalam bukunya dengan judul; Sukarno File). Namun upaya sistematis ini tidak mampu membunuh kharismatiknya, karena (1) tiap tanggal 17 Agustus Rakyat Indonesia memperingati proklamasi kemerdekaan dimana Soekarno adalah tokoh kuncinya. (2). Propoganda Hitam terhadap Bung Karno lebih banyak pada kehidupan pribadi, tetapi jarang pada tantangan gagasan-gagasannya. Bahkan rakyat masih menganggap belum ada presiden Indonesia sesudahnya yang menyamai kemampuan dan gagasan Soekarno. Soekarno adalah orang yang bersih soal kredibilitas politik, tidak ada satupun kasus korupsi yang dilakukannya bahkan ia meninggal dalam kondisi sangat miskin. (3). Sepak terjangnya, Pandangan Politiknya, hingga Pidato-pidatonya masih terus menggema di bangsa Asia -Afrika termasuk di Indonesia sendiri. Sehingga semakin banyak rindu dengan figurnya, terbukti dengan kemenangan Megawati di pemilu 1999 (salah satu faktornya-orang rindu Figur Soekarno).
“Go To Hell With Your Aid” mungkin harus menjadi pidato Soekarno yang diulang-ulang di telinga pemimpin dan elit politik saat ini, setidaknya untuk mengasah nyalinya agar sedikit lebih berani. Kehancuran Industri Nasional, dan dominasi kuat modal asing di semua sector kehidupan ekonomi betul-betul telah menempatkan bangsa Indonesia tidak ubahnya “Bangsa kuli”. Mentalitas korup dan keinginan memperkaya diri sendiri ditengah kemelaratan dan kemiskinan missal yang melanda lebih dari separuh penduduk negeri ini, sudah menjadi budaya pejabat di negeri ini. Sangat kontras dengan kehidupan pribadi Soekarno, yang sangat merakyat sehingga di juluki “Penyambung Lidah Rakyat”. Saatnya Soekarno baru hidup kembali!



DAFTAR PUSTAKA
Poeponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosutanto. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka. 1990.
Ricklefs, H.C. 1981. Sejarah Indonesia Modern, diterjemahkan oleh Dharmono Hardjowidjono. Yogyakata: Gajah Mada Univesity Press.
Agung, Leo. 2013. Sejarah Intelektual. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
http://www.bimbingan.org/tag/dampak-negatif-feodalisme yang diakses tanggal 22 September 2014.

 

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda